Harapan Yang Hilang

Matahari masih terbit dari ujung langit yang sama dengan hari-hari sebelumnya. Entah cuaca di hari itu sedang cerah, berawan, ataupun hujan, matahari selalu terbit dari ujung timur langit. Tak peduli dengan kejadian apapun yang terjadi di atas bumi, matahari akan selalu terbit dari ujung langit yang sama. Terbitnya mentari dari timur langit seakan-akan memberikan harapan akan hari yang baik untuk dilalui.

 

Namun, bagaimana matahari terbit dan apa yang terjadi di bumi ini tidak ada artinya baginya. Hari-hari yang mesti dilaluinya tidak ada artinya lagi untuknya. Baginya, sudah tidak ada harapan lagi untuk menjalani kehidupan yang semu dan fana ini sejak hari yang naas itu, hari ketika semua cahaya yang menerangi hidupnya telah terenggut darinya dan hanya menyisakan sosok berdaging dan bertulang yang harus melawan waktu yang terus berlalu tanpa mempedulikan dirinya.

 

Ya, dia selalu mengingat hari itu sebagai hari yang naas. Di hari itulah kehidupannya tak ada artinya lagi, dan tak ada lagi harapan lagi dalam hidupnya. Ya, setelah hari yang naas itu, dia menyebutnya sosok yang telah terenggut itu sebagai harapan. Harapanku, begitulah ia sebut sosoknya ketika membicarakan dia yang terambil.

 

Dia kini menghabiskan waktunya terduduk menghadap jendela di ruangannya. Dia masih tinggal di rumahnya, sebuah bangunan besar di pinggir kota yang asri. Saban pagi dan sore, seorang pembantu akan datang ke rumahnya, memasaknya makanan, membersihkan rumahnya, dan sesekali akan menonton televisi tabung yang tak pernah dia gunakan. Akhir-akhir ini, pekerjaan pembantu itu bertambah dengan memeriksa kondisi kesehatannya setelah dirinya pingsan di atas lantai beberapa tahun yang lalu.

 

Dia terkadang berpikir, bagaimana hidupnya kini ketika Harapan itu tidak terenggut darinya. Dia mungkin akan dapat mengubah dunia yang menakutkan ini menjadi dunia yang lebih baik. Dia telah mendengar tentang alat yang membuat orang-orang melupakan dunia nyata dan berpaling ke dunia maya. Dia telah mendengar tentang sebuah penyakit yang dapat memakan tubuh pasiennya secara perlahan, dan sebuah penyakit yang membuat korbannya sesak nafas dan mati dalam kondisi yang menyakitkan. Dia telah mendengar orang-orang yang membunuh mengatasnamakan agama dan Tuhan demi membela kebenaran hakiki. Dalam pikirannya, andai Harapannya itu masih ada disini, dunia mungkin akan menjadi tempat yang lebih baik, setidaknya untuk mereka berdua.

 

Dia telah mendengar tentang sebuah penyakit yang dapat membuat seseorang kehilangan ingatannya seiring bertambah tua seseorang. Namun, dia masih bisa mengingat kejadian itu dengan jelas, layaknya terjadi kemarin. Dia tak bisa mengenyahkan kejadian itu dari ingatannya. Dia masih mengingatnya sebagai kejadian dengan huru-hara dimana-mana. Orang-orang di luar sana merampok, membakar, memerkosa, dan berbagai tindakan di luar nalar manusia lainnya. Masa itu ia ingat sebagai salah satu waktu terberat dalam hidupnya.

 

Banyak orang yang kagum akan ingatannya yang begitu kuat. Bagi mereka, itu adalah berkah. Namun baginya itu adalah sebuah kutukan. Dia mulai berpikir seperti itu ketika dia melihat bagaimana putra satu-satunya diseret pergi oleh orang-orang yang datang di pagi hari dan tak pernah datang kembali. Orang-orang bilang putranya pantas diperlakukan seperti itu berusaha memberontak, namun dia tahu satu-satunya yang dilakukan putranya adalah membela yang tertindas oleh mereka yang mengaku sebagai negara ini. Dia mengingat ketika istrinya dan istri putranya itu tak dapat menanggung kesedihan akan kehilangan putranya itu, dan memilih pergi meninggalkan dirinya dan dunia ini.

 

Satu-satunya yang tak pergi meninggalkannya waktu itu adalah sosok yang dia kenal sebagai Harapan. Begitu melihatnya, dia berjanji kepada dirinya sendiri untuk terus menjaga harapannya itu tetap berada di sisinya. Dia telah kehilangan orang-orang yang disayanginya, dan dia tak ingin ditinggal oleh harapannya itu. Dia menyadari bahwasanya dia tinggal di dunia yang tak sempurna dan kejam ini. Merek bilang bahwasanya tanah yang ditempati ini adalah tanah yang diberkahi, tanah dimana semua tumbuhan dapat tumbuh subur dan mensejahterakan rakyatnya. Namun, mereka tak pernah bilang kalau manusia-manusia yang menempati tanah ini tak semuanya baik. Itulah yang telah dipelajarinya akan tanah yang ditempatinya, tanah airnya.

 

Dia mengajarkannya akan kenyataan dari tanah yang ditempatinya. Perlahan, Harapan tahu apa yang dia lihat dari lingkungannya. Dia membaca dari korang-koran apa yang terjadi di ibukota negeri, berbagai demonstrasi dan kerusuhan yang terjadi disana. Orang-orang berkata inilah saatnya reformasi, mengubah kondisi negeri ini dengan mengganti pemerintahan yang lebih baik bagi rakyatnya. Darah muda Harapan bergelora dan jiwa mudanya terpanggil untuk berbakti bagi tanah airnya. Harapan berkata kepadanya kalau saat seperti inilah mahasiswa harus bersatu sebagai kaum paling terpelajar demi kebaikan bangsa.

 

Dirinya kemudian berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, dia bangga kepada Harapan, yang telah tumbuh menjadi seorang mahasiswa yang bersemangat untuk membuat negeri ini menjadi tempat yang lebih baik. Namun, ketakutan dan keraguan merasuki sebagian dari dirinya. Dia telah melihat bagaimana putranya pergi meninggalkan dirinya dan tak pernah kembali setelah berkata dengan semangat dirinya akan membuat perubahan di negeri ini. Dia merasa waktu terulang kembali dalam sosok Harapannya itu.

 

“Apakah bagimu tak ada cara lain untuk berjuang demi kebaikan negerimu ini selain turun ke jalan bersama teman-temanmu?” tanyanya suatu hari kepada Harapan.

 

“Seperti apa?” tanya Harapan balik kepadanya.

 

“Entahlah. Mungkin kamu bisa berperan membantuku menjaga toko, memastikan agar toko kita tetap laku dan bertahan sehingga orang-orang di sekitar kita ini bisa mendapatkan penghasilannya.”

 

“Pak, apakah dengan kita berada disini saja semua itu dapat terjamin? Apa yang terjadi di ibukota negeri ini akan meluas hingga ke kota kita yang kecil ini, Pak. Aku ingin bergabung dengan gelombang perubahan ini demi kehidupan kita dan orang-orang di sekitar kita menjadi lebih baik.” Dan kemudian obrolan di antara mereka berhenti di sana.

 

Pada suatu hari, ketika matahari belum terbit di ufuk timur, dia melihat Harapan bersiap-siap pergi. Dia kemudian mendekatinya dan bertanya, “Apa yang akan kamu lakukan pagi buta ini, nak?”

 

“Kami mau berdemonstrasi, Pak di ibukota.”

 

Jawaban itu membuatnya kaget. “Kenapa tidak berdemonstrasi di kota ini saja? Tidak perlu pergi kesana.”

 

“Pak, disanalah semua mahasiswa akan bergerak untuk mereformasi negeri ini. Disanalah aku harus berada. Berjuang demi negeri ini.”

 

“Tapi, kamu tak perlu pergi sejauh itu, nak. Kamu cukup disini saja dan aman.”

 

“Tapi, apa yang nanti dibicarakan di sejarah nanti, pak, ketika aku hanya duduk diam di rumah dan teman-temanku pergi berjuang demi reformasi? Aku tak bisa berdiam disini saja dan melihat mereka berjuang. Aku harus pergi kesana.”

 

Dia akhirnya terdiam dan akhirnya berkata, “Baiklah, kalau begitu. Tapi biarkan bapak yang mengantarmu kesana.” Harapan hanya terdiam dan menganggukkan kepalanya.

 

Merekapun pergi ke ibukota dengan mengendarai mobil, melintasi jalan tol antar kota sembari menyaksikan bekas gedung terbakar yang sesekali mereka lewati. Akhirnya, di suatu titik, Harapan meminta diturunkan.

 

“Jam berapa kamu akan kembali?” tanyanya sebelum mereka berpisah.

 

“Aku usahakan sebelum malam sudah pulang, pak.” Jawabnya.

 

“Baiklah. Bapak akan biarkan pintu terbuka supaya kamu bisa pulang.”

 

“Iya, pak. Terima kasih.” Mereka pun berpelukan dan Harapanpun pergi meninggalkannya di jalanan ibukota. Setelahnya, ia mengendarai mobilnya dan pergi dari ibukota. Di rumah, dia terus menyalakan televisi, menyaksikan bagaimana yang disebut sebagai reformasi bergerak menduduki sebuah gedung beratap hijau dan mendudukinya. Dia tak pernah dapat duduk tenang sembari menunggu langit menjadi gelap.

 

Detik demi detik yang berlalu setelah langit gelap semakin mencekamnya. Jantungnya berdebar-debar akan kepulangan Harapan. Malam turun dari langit menyelimuti permukaan bumi dengan kegelapan, dan Harapan belum juga pulang. Semakin larut, matanya semakin memberat diserang oleh rasa kantuk. Akhirnya, sesuai janjinya, dia memutuskan membuka sedikit pintunya agar Harapan bisa langsung masuk dan pergi ke kamarnya. Dia tidak khawatir dengan pencuri yang masuk ke dalam rumahnya. Dia lebih khawatir dengan Harapan.

 

Pagi harinya, dia terbangun dan menyadari Harapan belum juga pulang. Akhirnya, dia segera bergegas ke ibukota dan mencarinya di kantor polisi. Dia memberikan kesaksian seperti apa sosok Harapan kepada petugas polisi. Petugas polisi itu kemudian berkata, “Kami akan usahakan sebaiknya.” Dia mendengar petugas polisi tidak begitu tulus mengatakannya dan meragukan sebaik apa usahanya. Namun dia hanya mengucapkan terima kasih dan pergi dari kantor polisi.

 

Dia terus berkeliling ibukota dengan mobilnya, menanyakan tiap mahasiswa yang ditemui di pinggir jalan. Tak ada yang dapat membantunya. Mereka tidak tahu apa-apa. Sebagian memberikan jawaban yang menciutkan hatinya, “Ada yang bilang tentara membawa beberapa mahasiswa pergi.” Ucap mereka. Dia terduduk lemas di dalam mobilnya, menyadari kalau Harapan pergi meninggalkannya. Dia terus mengelilingi ibukota, berhenti di beberapa pom bensin untuk mengisi bahan bakar mobilnya, makan di beberapa rumah makan sembari mencari tahu apakah ada yang melihat Harapan, atau di beberapa masjid dan gereja. Hingga akhirnya, perasaan menyerah meliputi dirinya, dan dia kalah oleh perasaan menyerahnya.

 

Dia kemudian melewati hari-hari dalam hidupnya tanpa sosok pembawa harapannya itu. Harapan yang hilang ditelan oleh gelombang reformasi di ibukota juga membawa pergi semangat hidupnya. Meskipun dia mengetahui bahwa Harapan bukan satu-satunya orang yang hilang selama gerakan reformasi yang melanda seluruh negeri, perasaan itu tidak membuatnya lebih baik. Diapun bergabung bersama dengan mereka yang kehilangan putra-putri mereka selama demonstrasi reformasi, menuntut kejelasan nasib mereka yang hilang. Namun, tak pernah ada kabar lagi.

 

Tahun demi tahun berlalu. Presiden datang silih berganti. Gelombang demi gelombang demonstrasi datang berulang kali. Namun, nasib Harapan masih belum jelas. Dalam kurun waktu itulah, semangat hidupnya seakan-akan telah padam dan hanya menyisakan ruh dibalik seonggok daging dan tulang. Sanak saudaranya mulai mengabaikan dirinya dan hanya mengutus seorang pembantu untuk merawatnya. Dia tak peduli dengan apa yang mereka pikirkan, dan tak peduli dengan mereka yang bernasib sama dengannya. Baginya, hilangnya Harapan seakan-akan merenggut cahaya hidupnya.

 

Hingga suatu hari, menjelang matahari yang perlahan tenggelam di ufuk barat dan hanya menyisakan semburat cahaya merah, dia berkata kepada sosok perawat yang masuk ke kamarnya. “Perawat, bisakah kamu meninggalkan pintunya sedikit terbuka? Biar aku bisa mendengar apa yang terjadi di lorong depan. Aku tak mau merasa sendirian.” Ia mengucapkan kata-kata itu dengan suara lantang yang tak pernah didengar pembantu itu sebelumnya, seperti nyala lilin terakhir sebelum padam.

 

“Baik, pak. Semoga istirahat anda nyaman.” Ucapnya dengan sopan. Pembantu itu kemudian berjalan keluar pintu dan membiarkan pintunya sedikit terbuka. Dia tak menoleh lagi ke arah pintu karena dia sudah tahu apa yang akan terjadi. Dia memejamkan matanya, berharap dia dapat mengambil istirahat untuk waktu yang lama.

 

Adnan

 

 

Mereka yang hilang menyisakan bekas trauma bagi mereka yang ditinggalkan. Meninggalkan lubang yang besar dan takkan bisa tertutup oleh waktu.

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *