Desa Kedungkeris, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta — Intan Rohmawati

Desa Kedungkeris merupakan salah satu kelurahan yang berada di Kecamatan Nglipar, Kabupaten Gunungkidul, Propinsi DIY. Terletak di wilayah utara Kabupaten Gunungkidul yang sebagian wilayahnya adalah hutan kayu putih milik pemerintah. Terdiri dari tujuh dusun, tiga dusun berada di wilayah timur yaitu dusun Kwarasan Kulon, Kwarasan Etan, dan Kwarasan Tengah serta empat dusun di wilayah barat yaitu Kedungkeris, Pringsurat, Sendowo Lor, dan Sendowo Kidul yang dipisahkan oleh hutan kayu putih. Hutan tersebut digarap oleh masyarakat Desa Kedungkeris dengan ditanami tanaman palawija maupun pakan ternak di sela-sela kayu putih.

 

Saya sebagai anak muda yang lahir dan berkembang di desa ini melihat Desa Kedungkeris selintas seperti sama dengan desa-desa yang lain di Gunungkidul. Sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai petani dan peternak, mereka menggarap lahan milik pribadi maupun lahan hutan kayu putih. Bertemu dan kenal dengan Fopperham membuat saya tahu bahwa ternyata Desa Kedungkeris memiliki sejarah masa lalu yang cukup panjang. Pelanggaran HAM berat tahun ’65 yang tidak asing lagi di telinga saya, ternyata juga terjadi di desa ini. Banyak orang pada waktu itu yang menjadi korban pelanggaran HAM tersebut, bahkan Lurah atau Kepala Desa Kedungkeris hilang pada waktu itu, serta beberapa orang lagi ditangkap dan dipenjarakan hingga ke Pulau Buru, serta puluhan yang dipenjarakan di LP. Wonosari dan atau diharuskan wajib lapor saja.

 

Desa Kedungkeris yang terdiri dari tujuh dusun ini, salah satunya adalah Dusun Sendowo Lor. Di dusun tersebut, saya menemui sepuluh simbah/lansia korban pelanggaran HAM berat tahun ’65. Simbah–simbah tersebut dulu ada yang dikenakan wajib lapor, ada yang dipenjara di Gunungkidul, dan ada yang mengalami perjalanan dan pemenjaraan sampai ke Pulau Buru. Kebanyakan simbah yang dijemput pada saat itu rata-rata masih usia remaja, ada salah satu simbah yang dijemput pada saat sedang bermain karawitan. Kebanyakan simbah yang saya kenal aktif di bidang kesenian khususnya karawitan.

 

Saat ini pelanggaran HAM tersebut mengalami impunitas setidaknya dalam waktu 57 tahun. Sebagai anak muda yang lahir dan besar di Desa Kedungkeris, saya tidak menduga bahwa peristiwa tahun ’65 sampai di desa saya. Seolah tidak percaya, karena desa saya berada di daerah perbukitan yang jauh dari pusat kota. Kondisi geografis dan akses yang masih sulit dan terbatas pada waktu itu, serta kondisi sosial masyarakat seperti tidak memungkinkan untuk ikut terlibat langsung dalam kejadian itu. Namun, pendapat itu terbantahkan dengan adanya dua goa atau luweng di Gunungkidul yang menjadi saksi bisu pembuangan para korban kekerasan di masa lalu. Saya sangat menyayangkan bahwa simbah yang masih menanyakan kesalahan apa yang mereka lakukan hingga mengalami kejadian itu, tapi negara masih memilih untuk diam hingga saat ini.

 

Saya bersama relawan Fopperham yang lain berkesempatan melakukan kegiatan di komunitas Kedungkeris bersama simbah. Kegiatan yang telah dilakukan ialah pendokumentasian kolektif. Sepuluh simbah tersebut sebelumnya telah tergabung dan berkegiatan di bidang seni karawitan, dan koperasi simpan pinjam. Dalam proses pendokumentasian secara kolektif, simbah-simbah tersebut sangat antusias dalam menyambut anak muda. Meskipun dalam proses pendokumentasian masih banyak simbah yang belum terbuka akan kekerasan masa lalu yang mereka rasakan. Dari proses tersebut saya banyak tahu tentang masa kecil simbah yang saling berhubungan satu sama lain, hingga cerita perjalanan beberapa simbah sebagai korban kekerasan tahun ’65. Semangat simbah di usia yang sudah renta menginspirasi saya sebagai anak muda untuk selalu semangat dalam menjalani kehidupan.

 

Tidak banyak yang tahu tentang cerita masa lalu perjalanan para penyintas ini, bahkan keluarganya sendiri. Narasi penyintas ini perlu untuk diteruskan atau diturunkan ke keluarga, generasi muda, dan secara perlahan masyarakat secara umum. Maka penulisan narasi korban perlu dilakukan sebagai bentuk pendokumentasian yang bisa diteruskan ke generasi muda. Agar tidak ada salah paham diantara simbah dengan keluarganya yang belum tahu pengalaman masa lalu simbah. Di lingkup masyarakat secara umum, agar mereka tahu sisi lain dari sejarah tahun ’65. Selain itu narasi tersebut juga dapat menjadi sumber belajar dan bahan bukti apabila suatu saat diperlukan untuk proses keadilan dan kampanye jaminan tidak berulang.

 

Dari kegiatan exchange learning yang akan dilaksanakan di Timor Leste, saya ingin belajar sejarah masa lalu di Timor Leste. Selain itu, belajar kondisi sosial masyarakat dan budaya masyarakatnya. Dari sejarah masa lalu yang terjadi disana saya ingin tahu bagaimana perjalanan korban kekerasan masa lalu hingga saat ini. Bagaimana pengorganisasian para korban, proses pendokumentasian dan pengelolaannya, dan sejauh mana kegiatan atau pergerakan yang dilakukan selama masa impunitas.

 

Hasil belajar dan pengalaman selama di Timor Leste akan saya bagikan atau diceritakan kepada simbah-simbah di Kedungkeris. Mengambil pelajaran dari pengalaman teman-teman di Timor Leste sebagai bahan pembelajaran ketika mendampingi komunitas simbah. Hal-hal yang bisa diterapkan di komunitas di Jogja, rencananya akan saya coba untuk diterapkan.

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *