Suara Senyap Perempuan Ketinggian Lembah Napu, Sulawesi Tengah — Amin Yunus Hamsa Roro

Dalam berbagai operasi keamanan yang terjadi di suatu wilayah tertentu, perempuan biasanya menjadi sasaran kekerasan berbasis gender dan ini terjadi di wilayah kabupaten Poso pada umumnya mereka mengalami pelecehan seksual dan di abaikan hak hak reproduksinya. Namun kerap kali hal ini di abaikan oleh sistem Sosial yang memakai pendekatan moralitas lengkap dengan perangkat Patriakisnya, maka perempuan yang tersubordinat biasanya menjadi objek keinginan para laki laki untuk dijadikan pemuas hasrat seksual yang bisa dilupakan begitu saja.dan ini menjadikan hidup perempuan sesak dengan kewajiban kewajiban.hingga menjadikan tatanan formal  dalam sistem sosial masyarakat.bahkan untuk menjaga moralitas keluarga maupun masyarakat perempuan di daearah Napu wilayah kabupaten poso bahkan rela harus di hargai dengan uang denda adat sebesar Rp.5.000.000 untuk menyelesaikan persoalan yang dikategorikan sebagai perbuatan Zina . Tak terbesit di dalam benak para lembaga adat untuk memikirkan bagaimana dampak yang di rasakan para perempuan dari fisik maupun psikologis akibat putusan yang merendahkan hakikat dasar kemanusiaan seorang perempuan. hal yang paling menyakitkan adalah perempuan kerap kali di tuduh sebagai objek pemicu terjadinya kekerasan seksual. Perempuan menjadi korban utama dalam pelecehan seksual bukan hanya karena sistem patriaki yang mensubordinasikan mereka tetapi juga karna masyarakat memandang perlakuan tersebut sebagai sesuatu yang wajar. Dalam sistem ini laki laki rentan menjadi pelaku pelecehan seksual. Karena anggapan perempuan hanya sebagai objek seks belaka bukan karena hakikat kemanusian yang melekat pada perempuan itu sendiri. Pandangan perempuan sebagai objek seksual belaka adalah bentuk pelecehan yang paling mendasar dan diikuti dengan perilaku yang membenarkan cara pandang tersebut, pelecehan seksual bukan hanya semata mata tentang seksualitas dimana laki laki dapat membendung hasrat seksualnya ketika dihadapkan dengan daya tarik seksualnya pada perempuan. Lebih dari itu saya meyakini dan berpendapat pelecehan seksual adalah cermin ketidakadilan gender.

 

Kabupaten poso merupakan “sarang teroris” begitu mungkin julukan yang sering saya dengar ketika menyebutkan kata poso baik di perkenalan ataupun bercerita dengan orang luar (bukan tinggal di wilayah kabupaten poso). Namaku Amin Yunus Hamsa Roro lahir dan besar di wilayah Napu kabupaten poso. Satu lembah yang berada di ketinggian ± 1.000 MDPL  keadaan geografis Napu yang di dominasi hutan dan pegunungan menjadikan Napu menjadi  tempat strategis para teroris untuk bersembunyi  dan menyebar teror.pemerintah pun membuat satu operasi gabungan TNI/Polri Tidak heran jika ratusan bahkan ribuan anggota tentara dan polisi banyak ditugaskan  di kabupaten poso ini, katanya untuk mengayomi warga. Kalau kita memasuki desa-desa di beberapa tempat yang dianggap sarang teroris, kita akan menemui posko-posko pengamanan. Begitu juga di desa tempat tinggalku. Kedatangan orang-orang berpangkat itu disambut hangat oleh warga, terlebih para gadis desa yang begitu memimpikan dapat bersanding dengan orang yang dianggap lebih tinggi status sosialnya. Mulailah mereka bersolek, merubah penampilan dan melakukan beberapa hal lainnya yang dianggap dapat menarik perhatian oknum tentara maupun polisi. Tidak hanya para gadis, sambil bertugas menangkap kelompok teroris, oknum militer itu juga menjalankan misinya untuk merayu gadis desa. Rata-rata, di lokasi pengamanan, anak gadis banyak yang menjalin hubungan dengan tentara ataupun polisi. Tidak heran jika di daerah kami perempuan mendapat julukan “KOTI” Korban tinombala.ironisnya istilah yang awalnya dimaksudkan oleh masyarakat napu (terutama kaum lelaki) sebagai kritik terselubung akibat dari rasa cemburu terhadap oknum aparat justru pada saat yang sama adalah viktimisasi korban atau menempatkan perempuan sebagai ojek seksual semata. Julukan buruk ini awalnya menjadi sebuah kebanggan tersendiri untuk para perempuan dan lama kelamaan menjadi buruk akibat dari beberapa kasus hubungan antara oknum aparat dan perempuan napu yang berujung masalah dan pengurusan adat akibat katanya perbuatan Zina.stigma buruk bagi perempuan yang punya hubungan dengan oknum aparat  kian menjadi bahan lelucon. Hal ini diperparah dengan banyaknya kasus kehamilan yang tidak diinginkan setidaknya ada dua model kasus kehamilan yang tidak di inginkan yang pertama perempuan dan oknum aparat keamanan menjalin hubungan intim atas dasar suka sama suka lalu ketika hamil tidak dipertanggung jawabkan (tidak jadi menikah) akibat alasan si oknum aparat sudah punya istri ditempat lain atau bahkan menuduh anak yang di kandung bukan anaknya dengan dalil dia bukan orang pertama yang berhubungan intim dengan si perempuan. Lalu yang kedua perempuan di paksa untuk menjalin hubungan intim dengan janji akan dinikahkan.urusan pertangung jawaban pada kasus kehamilan yang tidak di inginkan menempatkan perempuan dalam posisi yang sangat lemah dan bersalah, diberikan oleh masyarakat dalam kontruksi bias gendernya bahwa perempuan merupakan pengoda dan selalu memulai hubungan dan ini juga mempengaruhi pada putusan adat yang timpang,sebaliknya akibat dari kehamilan yang tidak diinginkan perempuan dituntut membayar ganti rugi  karena telah menyebabkan  ‘aib’ bagi masyarakat. sebagian uang tersebut oleh korban harus di bayarkan kepada tetua data setempat. Setahu penulis ada beberapa kasus tuntutan pertangung jawaban aparat keamanan yang di ajukan perempuan napu  yang berujung pada ketidak profesionalan oknum aparat dan merugikan perempuan seperti kasus yang baru saja terjadi di November 2021 tepatnya didesa Alitupu. Manifestasi dari beban menumpuk yang harus di tangung tersebut terlihat antara lain tingginya tingkat agresifitas perempuan di daerah napu,perempuan mengalami peningkatan emosi,mudah tersinggung,perubahan pada perilaku atau bahkan menjadi depresi. Satu dampak yang bisa kita kenali dari perempuan korban ketidak bertangung jawaban aparat.

 

Sebagai seorang lelaki yang  melihat dampak lansung dari peristiwa ini saya sangat bersyukur bisa terlibat dengan Rumah belajar poso yang di inisiasi oleh SKP-HAM pengalaman dalam belajar pengorganisasian maupun advokasi yang diasah melaui pelatihan maupun komunitas belajar anak muda menghantarkan titik kritis dalam benak saya ”mengapa hal ini bisa terjadi?” kalau sudah terjadi apa yang saya akan lakukan untuk mencegah hal ini tidak  terjadi kembali? Suatu waktu ketika diadakan satu kelas belajar advokasi  saya melihat deretan foto yang didalamnya ada cerita yang menggambarkan peristiwa hal ini memacu ide saya bagaimana kalau  mendokumentasikan cerita korban dan terus menyuarakan suara senyap yang selama ini tak pernah didengarkan. advokasi berbasis pendokumentasian satu langkah keci luntuk hal yang lebih besar yang mungkin sedikitnya bisa membantu teman maupun saudara terutama kaum perempuan napu untuk mendapatkan hak dan jaminan ketidak berulangan peristiwa ini. 3 hari sebelum saya memutuskan menulis, saya menemukan satu buku karya Wilson “a lutta continua”  8 jam saya menyelami Gambaran Timor leste dari buku setebal 406 halaman ada banyak kesamaan peristiwa terutama kasus pada perempuan hal ini yang memprovokasi saya untuk belajar pada masa kini dan masa lalu yang berserakan untuk memproyeksikan tentang pencegahan kekerasan terhadap perempuan dimasa yang akan datan terutama di komunitas tempat saya tumbuh dan berkembang.

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *