Tentang Poso dan Tumbuhnya Harapan-harapan Kecil, Sulawesi Tengah — Lia Fauziah

Lia yang sedang hidup di Poso, tepatnya di Dusun Buyu Katedo. Perempuan 25 tahun memutuskan bertumbuh dan berproses bersama komunitas korban konflik.

 

Rentetan peristiwa di Poso mulai dari permesta tahun 50an, korban 65/66, konflik 1999-2000an, diiringi kasus terorisme 2007-saat ini, apalagi kehadiran operasi keamanan (https://skp-ham.org/3049/jangan-melihat-poso-sebagai-ladang-operasi-keamanan/) dan menimbulkan ekploitasi seksual (Perempuan dalam Jeratan Impunitas, Laporan Komnas Perempuan. 2008). Belum lagi isu ekstraktifisme masalah pelanggaran HAM di PT. Poso Energi/PLTA yang mengakibatkan sawah terendam (https://www.voaindonesia.com/a/sawah-terendam-air-danau-petani-somasi-pt-poso-energy/5826682.html). Ah iya, stigma kabupaten Poso juga masih distandarisasi oleh satus keamanan karena terorisme yang langgeng.

 

Berada di Poso, tentu taidak akan asing dengan konflik dan terorismnya. Anehnya, saya tidak memiliki kekhawatiran berarti saat menginjakkan kaki di Rumah Belajar Poso. Namun, setelah beberapa kali dipantik dengan cerita teman-teman tentang Poso, saya ingat persis video sekitaran tahun 2004, ada pembantaian dimana-mana, pembacokan telinga dan dibiarkan saja oleh aparat keamanan saat itu. Kenapa banyak Polisi namun tak berbuat apa-apa saat pembacokkan didepannya terjadi.

 

Bertemu dengan pelaku sejarah memastikan konflik tersebut dipicu oleh isu SARA. Akibatnya terjadi konflik komunal, tentu semua warga menjadi korban. Apakah saat ini sudah baik-baik saja?. Kemarin (3/04) saya bertemu salah satu pedagang sebut saja keluarga A, yang masih merasa takut dan tidak aman atas peristiwa kematian adiknya pada peristiwa 22 Januari 2007 di Gebang Rejo. Mendengar Buyu Katedo, si Ibu akan melarang kita untuk percaya kepada warga agama non-muslim. Stigma yang langgeng tentang Poso daerah terorism, merupakan transformasi peristiwa konflik komunal (1998-2001). Sejalan dengan apa yang dijabarkan dalam teori sistem dalam menciptakan perubahan sosial, Talcott Parsons (1902-1979) menyadari seluruh subsistem mempengaruhi sistem, dari adaptasi sampai menjadi kondisi laten pada masyarakat.

 

Membincangkan konflik yang berasal dari isu SARA sangat sensitif. Perlu kiranya melihat adanya pewarisan ingatan tentang konflik dan potensi kejadian berulangnya. Ada beragam isu jika menyoal Poso dan membincangkannya dengan siapa saja. Apalagi jika berdiskusi atau duduk bersama dengan teman muda Poso. Keberagaman isu yang menjadi fokus rekan muda harusnya bukan menjadi soalan. Namun, dibeberapa diskusi bersama teman-teman NGO/LSM yang berbeda-beda isu, misal ada yang isu lingkungan dan mengurusi pekerja anak di Poso justru menghindari perbincagan menyoal konflik Poso. Mengapa?

 

“sebaiknya tidak membahasnya, karena ini isu sensitif. Bisa memantik konflik lain. Atau, cobalah jalan-jalan ke Tentena, nanti kami ajaklah kalau lowong. Disana itu, sudah damai Islam-Kriten berbaur sekali” – Kata seorang kawan yang juga mendampingi salah satu desa di Pamona Selatan, Kabupaten Poso.

 

Dipendiskusian yang lain, bersama teman-teman yang mendampingi di wilayah eksnapiter (eks narapidana terorisme) justru memberikan perhatian yang lain. Mereka mengkritisi bahwa mengapa tanah tempat mereka berkehidupan justru diglorifikasi oleh sebagian orang yang tidak bertanggung jawab. Diwacanakan dan distigmatisasi bahwa dusun tersebut adalah “sarang terorisme”. Pelanggengan stigma disuatu daerah tertentu merupakan momok yang meresahkan. Karena, indikasinya adalah manipulatif dan diskriminatif. Manipulasi teks dapat melabel sesuatu apalagi dimedia sosial, integritas isu melahirkan latensi. Tentu perlu banyak pertimbangan, apakah masyarakat sudah konsensus atau apakah mental masyarakat siap jika dihadapkan dengan situasi yang mendatangkan kerumunan yang banyak dan mengobjektifikasi suatu daerah tertentu bahwa “disini banyak eksnapiter!.” Adanya kebijakan melalui deklarasi Malino Desember 2001, harusnya menjadi proses rekonsiliasi yang memadai, namun sampai saat ini evaluasi belum juga dilakukan.

 

Kondisi laten ini pula diamini oleh pemerintah daerah (pemda) dalam prosesnya memilih tidak usah lagi mengungkit-ungkit masalah konflik. Massifnya operasi militer yang menangani terorisme merupakan salah satu faktor pelanggengan stigma Poso tidak aman. Kebutuhannya ada pada merubah cara pandang kita menjadi lebih kritis dalam menyoal Poso, apakah membungkam sejarah atau belajar dari sejarah?. Mewarga di Rumah Belajar di Dusun Buyu Katedo membentuk pola berpikir saya, hidup di daerah bekas pembantaian 21 tahun silam. Ya saya punya alasan untuk melakukan perubahan, meskipun belajar bersama warga di Dusun. Mebangun solidaritas dan belajar dari sejarah melibatkan anak-anak sampai remaja bahwa tidak ingin lagi ada kekerasan massal yang membuat banyak korban jiwa ditanah Poso. Sejalan dengan apa yang dijabarkan dalam teori sistem dalam menciptakan perubahan sosial, Talcott Parsons (1902-1979) menyadari seluruh subsistem mempengaruhi sistem, dari adaptasi sampai menjadi kondisi laten pada masyarakat dan menitikberatkan kejadian itu tak terulang dan menuju sebuah keseimbangan/ekuilibrium.

 

Saya menemukan alasan kenapa memilih dan bertumbuh dengan orang-orang Poso, meskipun dengan kondisi sosial yang begitu kompleks. Menurut Weber, meskipun kesatuan sosial selalu kompleks (ekonomi, sistem politik dan organisasi sosial) dilihat sebagai akumulasi dari tindakan sosial. Olehnya, penting memahami tindakan individu: menguraikan motivasi psikologis yang memaksa individu bertindak, pun turut nilai-nilai kultural, norma dan hukum yang membentuk. Kiranya saya ingin bertindak bersama anak-anak dan teman-teman muda untuk memastikan bahwa Poso bukanlah daerah yang harus selalu dipastikan status keamanannya. Melalui proses mewarga dari sebuah dusun kecil yakni Buyu Katedo, Desa Sepe, Kecamatan Lage saya ingin membersamai.

 

Tiada duanya perjuangan yang saat ini kita bangun di Rumah Belajar hidup bersama korban konflik sekaligus melakukan pendampingan. Saya temukan alasan kenapa memilih hidup di Poso, pewarisan konflik melanggengkan stigma tidak aman, lalu bagaimana anak-anak “Kelas Molega” (program Rumah Belajar) jika kelak mereka sekolah diluar daerah Poso? mental apa yg mereka rasakan kalau nanti ketika banyak orang yang masih menstigma Poso? Barangkali pertanyaans saya sepele. Tapi, saya ingin menghargai capaian-capaian kecil untuk mengdvokasi korban pelangaran HAM sebagaimana mandat dari organisasi ini.

 

Seturut dengan hal tersebut, saya mengambil kesempatan untuk belajar di Timor Leste. Pun belum menuntaskan bacaan Chega!. Namun, keberhasilan Timor-Leste dalam proses rekonsiliasi patut diapresiasi. Adanya laporan Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi (CAVR) di Timor-Leste menunjukkan bahwa proses pendokumentasian itu penting. Melalui mahakarya Chega! Memberikan nafas panjang harapan dalam implemntasi rekonsiliasi pada daerah pascakonflik. Memproduksi pengetahuan sejarah Timor-Leste menjadi titik dimana ide-ide pendokumentasian menjadi kekuatan sejarah.

 

Saya menyadari bahwa minimnya kapasitas melakukan pendokumentasian tentu menuntut saya untuk belajar. Berproses dengan teman-teman lainnya menjadi hal pasti, terkhusus pembelajaran pendokumentasian.

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *