Reuni Keluarga yang Terpisah akibat Konflik RI-Timor Leste
Oleh: Mohammad Arief Hidayat, Reza Fajri
VIVA.co.id – Konflik bersenjata Indonesia dengan Timor Leste pada kurun 1979-1994 menyisakan satu persoalan yang belum tuntas. Ribuan orang yang terpisah dari keluarganya di Timor Leste dan belum dipertemukan hingga sekarang.
Satu kemajuan terjadi pada 18-23 Mei 2015. Empat belas orang berhasil dipertemukan dengan sanak saudaranya di Dili setelah terpisah selama dua hingga tiga dekade.
“Saat konflik 1979-1994, anak-anak ini diambil oleh tentara Indonesia dari yang umur lima tahun sampai 15 tahun. Mereka selama lebih dari 30 tahun tidak pulang ke keluarganya. Bahkan keluarganya (di Dili) ada yang sudah berasumsi tidak ada, bahkan sampai dibikinkan batu nisan,” kata Direktur Asia Justice and Rights (AJAR) Galuh Wandita, ketika ditemui di kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), di Jakarta, Selasa, 26 Mei 2015.
Reuni keluarga yang terpisah di dua negara itu adalah sesuatu yang sebelumnya tak terbayangkan. Keempatbelas orang itu, kata Galuh, adalah beberapa yang beruntung karena ketika masih kanak-kanak diasuh dan dibesarkan oleh keluarga yang penuh kasih di Indonesia. Namun ada juga dari mereka yang hidup telantar, mengalami tindak kekerasan dan eksploitasi. Termasuk mereka-mereka yang belum bisa dipertemukan.
“Ada empat ribu anak yang dipisahkan ketika konflik. Ada yang kehidupannya baik, ada yang telantar, dieksploitasi. Ada yang merantau dari tempat ke tempat. Ada yang dijanjikan sekolah namun tidak pernah terealisasi,” ujar Galuh.
Pemerintah Indonesia selalu diimbau AJAR dan berbagai lembaga kemanusiaan untuk segera mengambil tindakan konkret, yaitu mencari orang-orang Timor yang hilang dan tersebar di Indonesia. Pemerintah juga harus memulihkan hak-hak mereka yang dipisahkan, sekaligus mendukung upaya untuk mempertemukan orang-orang dipisahkan itu dengan keluarganya di Timor Leste.
“Pemerintah harus memfasilitasi bagaimana mempertemukan kembali mereka, mencari yang hilang. Saya pikir ini bagian rekonsiliasi dari kedua bangsa,” kata Galuh.
Kewarganegaraan ganda
Ketika konflik Indonesia-Timor Leste berlangsung selama hampir tiga dekade, banyak anak Timor Leste yang dipindahkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) ke wilayah Indonesia. Mereka yang dipindahkan adalah anak-anak yang dinilai belum bisa membuat keputusan sendiri dan rentan terhadap tindak kekerasan dan eksploitasi. Padahal, menurut Komnas HAM, sesuai hukum perang, anak-anak tidak boleh ditahan oleh tentara sebagai jaminan.
“Mereka semua dipindahkan ke Indonesia ketika masih anak-anak, masih di bawah umur 18 tahun. Mereka jauh lebih rentan karena belum bisa buat keputusan sendiri,” kata Komisioner Komnas HAM, Sandra Moniaga.
Komnas HAM bersama AJAR dan berbagai lembaga masyarakat sipil ikut memfasilitasi reuni sanak keluarga yang dipisahkan akibat konflik. Saat reuni di Dili itu, Duta Besar Indonesia untuk Timor Leste disebut mengapresiasi kegiatan itu. Namun sambutan positif itu, menurut Komnas HAM, harus ditindaklanjuti pemerintah pusat di Jakarta. Upaya pemerintah yang paling diharapkan adalah mendukung orang-orang terpisah itu secara administratif.
“Misalnya, soal kartu keluarga yang susah, paspor yang sulit. Mereka juga berhak jadi warga Timor. Di sana (Timor Leste) mereka bisa punya kewarganegaraan ganda. Tapi di Indonesia hukumnya tidak bisa membolehkan,” ujar Sandra.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras), Yati Andriyani, mengatakan ada kewajiban negara untuk mencari orang-orang yang hilang akibat konflik. Apalagi duta besar Indonesia di Dili sudah menyambut positif dan mau mendukung rencana rekonsiliasi.
“Ini konteksnya konflik. Dalam konteks ini ada kewajiban dua negara. Bagaimana harus ada pencarian akibat konflik di Timor Leste,” kata Yati.
Dibawa TNI
Isabelina Pinto dibawa TNI ke wilayah Indonesia pada tahun 1975. Ia dipisahkan dari keluarganya di Timor Leste saat konflik bersenjata tengah berlangsung antara Indonesia dengan kubu yang menginginkan kemerdekaan negara Timor. Ia baru bisa bertemu kembali dengan keluarganya di Timor Leste pada tahun 2009. Kini dia menjadi fasilitator untuk mempertemukan mereka-mereka yang bernasib sama.
“Saya dulu dibawa tentara tahun 1975, saat saya lima tahun. Saya dibawa sebagai jaminan agar keluarga saya tidak ikut melawan. Di sana dulu ada kepala desa, setelah ada persetujuan (TNI dengan kepala desa) baru saya dibawa,” kata wanita yang akrab disapa Lina itu.
Sebagai seorang fasilitator, ia ikut mencari orang-orang Timor Leste yang juga dulu dipisahkan dari keluarganya. Ia bahkan mencari hingga ke Kalimantan dan Sulawesi. Berbagai kesulitan ia temui.
Menurut ceritanya, banyak orang Timor yang kini sudah berganti nama dan lupa dengan nama-nama anggota keluarganya di Timor. Mereka juga, kata Lina, banyak yang masih takut karena masih menyimpan luka fisik maupun batin akibat konflik berdarah dulu.
“Banyak mereka yang sekarang ada di pesantren-pesantren. Nama-nama mereka juga sudah diganti. Ada yang (namanya) dari Jose diganti jadi Abdul Rahman,” katanya bercerita.
Lain cerita dengan Lina, Lando diambil tentara saat ia berumur 16 tahun. Oleh TNI, ia ditawarkan tiga pilihan: menjadi tentara, polisi atau merantau. Setelah diberi waktu untuk berpikir, ia memutuskan untuk merantau ke Jawa.
“Saya bilang tolong kasih saya waktu. Saya pilih opsi ketiga, merantau, karena saya tidak mau tembak orang,” ujar Lando.
Selama di Jakarta ia mencoba peruntungannya dengan keras. Ia sempat bekerja di perusahaan garmen, menjadi pekerja rumah tangga dan kemudian menjadi office boy di suatu perkantoran. Walau semua pekerjaan itu hanya membuahkan upah yang kecil, ia tidak mempermasalahkannya.
“Upah kecil, seribu sehari, tapi yang penting makan gratis. Prinsipnya yang penting makan gratis, tidur gratis,” kata Lando sambil tertawa.
Salinan ini telah tayang di http://m.news.viva.co.id/news/read/630657-reuni-keluarga-yang-terpisah-akibat-konflik-ri-timor-leste