Kakak Tidak Pulang

Aku ingat terbangun dari bangun siang dengan hati jengkel setengah mati. Aku susah sekali disuruh tidur. Ibu perlu melayangkan sapu dan berbagai macam barang yang disihir menjadi senjata di tangannya padaku. Atau kalau Ibu letih mengejarku yang lincah bersembunyi dari sudut ke sudut, ia akan mengancam memotong uang jajanku. Dan saat itu, tidur yang aku usahakan dengan mengerahkan seluruh tenaga berakhir sia-sia karena bunyi berisik dari luar kamar.

 

Lalu, aku menyibak jendela mendengar bentakan Bapak membaur bersama tangis Kakak yang histeris. Oh, ternyata sudah petang. Hebat juga rekor tidur siangku. Keningku berlipat melihat Kakak bergegas keluar rumah. Kakak bukanlah tipe anak durhaka sepertiku. Ia patuh cenderung tidak banyak tingkah dan mau mau saja disuruh Ibu. Namun alangkah terkejutnya diriku mendapatinya menjawab balik perkataan Ibu. Mata kami sempat bertemu. Ia menyorotiku dengan sorot penuh arti sementara aku nyengir senang karena itu momen pertama kalinya bagiku menangkap basah dirinya yang sedang dimarahi.

 

Ia melambaikan tangan. Dalam remang-remang cahaya pulau, aku berusaha menerjemahkan gerak naik turun bibirnya. Langit seolah tidak mau aku dengar. Dia membisukan Kakak sampai aku perlu melompat keluar jendela. Sia-sia, bisik angin kala itu. Kakak sudah hilang ditelan malam yang mengubur petang.

 

“Lalu dimana dia sekarang?”

 

Aku melirik sekilas sebelum kembali menerawang jauh ke depan deburan ombak. “Hilang.”

 

“Hah? Kemana?”

 

Tawa sinis sontak termuntahkan begitu saja lewat mulutku. “Mana aku tahu? Memangnya aku orang-orang itu?”

 

“Orang-orang apa maksudmu?”

“Orang-orang yang hidup di atas matinya orang lain.”

 

Sejenak hening menyelusup diantara kami. Mungkin Mada sedang memulihkan diri, atau tidak tahu ingin membalas apa. Tidak apa. Aku yang lebih paham kesunyian semacam ini. Paham betul aku. Bungkam. Biar tidak ada yang perlu hilang. Jangan membantah. Kalau diculik nanti marah. Bisik saja, jangan berisik.

 

“K-kenapa?” Suara Mada pelan dan ragu. Padahal, dia anak paling pemberani yang aku tahu selama ini. Meski selalu menyambutku dengan pakaian compang-camping dan wajah penuh luka, Mada selalu punya wajah tegas yang aku senangi.

 

“Mereka tidak suka orang seperti Kakakku, kata Ibu.” Aku memberi jeda. “Orang yang tidak takut menyuarakan kebenaran meski taruhannya nyawa. Ibuku sayang Kakak, dia mau Kakak menyerah dan mengikuti alur orang-orang itu. Tapi menurut Kakak, diam berarti kalah. Mana sudi dia dijahit mulutnya begitu saja.”

 

“Kau… marah?”

 

Aku tergelak. Mada ini, memang tidak nyambung. “Buat apa? Tidak ada gunanya, kan? Mau marah ke siapa pula? Pada laut yang memakan Kakakku atau pada langit yang meredam segala cerita dan menyembunyikannya rapat-rapat. Pada sistem yang sudah rusak ke akarnya atau pada mulut-mulut yang berhasil dijahit. Salahkan sistem atau manusia? Hah?”

 

“Kau marah,” tandasnya. Ia mengikuti arah pandangku yang berapi-api pada laut di depan sana. “Kia, aku harap kau tidak marah pada Kakakmu yang memperjuangkan keadilan.”

 

“Persetan keadilan! Kakak tidak seharusnya meninggalkanku seperti ini!”

 

Mada tertawa renyah, matanya perlahan menyipit. “Orang-orang seperti kami memang seringkali salah, ya. Kia, perjuangannya itu untukmu, dilanjutkan oleh generasimu, supaya generasi selanjutnya bisa hidup tanpa ketakutan membuka mulut. Tanpa ketakutan ditemui orang yang seharusnya melindunginya justru menyakitinya. Tanpa ketakutan hilang.”

 

“Kia, kakakmu ditendang dari perahu. Tapi ia tetap tersenyum mengetahui air mengalirinya tubuhnya serta ikan-ikan berdansa menangkapnya.”

 

Mada menepuk bahuku. Lalu hilang setelah beberapa langkah menuju ombak. Mada, ternyata salah satu orang hilang tersebut.

 

chacausechaos

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *