Nyanyian Bapak

Aku adalah anak bapakku. Aku tidak terlahir dari rahimnya, dan memang sudah semestinya begitu. Seperti lagu yang sering terdengar dari warung kopi modern indie yang tak pernah kulihat adanya tampang bapak-bapak pekerja yang lelah dikerjai dunia. Aku hadir dari rahim ibu, sebab mana ada seorang bapak punya rahim. Namun, bapak juga punya terangnya sendiri, terang malam aku menyebutnya. Itulah sebabnya aku mencintai bapakku seperti bapakku mencintai puisinya.

 

Pernah sekali hari minggu, kuturut bapakku ke tengah kota. Tidak bawa delman, hanya mampu jalan kaki. Disana kami lihat banyak orang-orang yang senasib dengan kami menempel di tembok-tembok. Jalan raya disana bahkan lebih licin dari telapak tangan bapak. Hanya saja orang-orang kota membosankan, mereka lebih senang berbisik-bisik dibanding mengajak ngobrol kami. Namun, kata-kata yang mereka dengungkan ada banyak, tidak hanya satu kata. Bahasa kota memang tak bisa diajak bicara.

 

Selama di kota, kami mampir ke pasar loak. Bapak katanya ingin membelikan baju untuk ibu. Untuk kado ulangtahun. Baju itu cantik, tapi bapak masih yakin ibu itu lebih cantik. Sore hari kami pulang, biar sebelum malam sudah sampai rumah. Makanan kota sangat mahal, lagi pula masakan ibu lebih enak.

 

Malam harinya selepas waktu makan, kutemui bapak yang bengong di depan rumah. Aku berniat ajak dia ngobrol bentar ketika kulihat bajunya ternyata robek.

 

“Pak, kenapa baju robek begitu masih dipakai?” tanyaku.

“Biar, biar senasib saja dengan ibumu. Baju yang tadi kita beli di pasar loak ternyata robek, aku baru melihatnya selepas mencuci dan menyeterikanya.”

“Memang sebesar apa robeknya?”

“Sedikit saja, di bagian pundaknya. Sepertinya masih bisa untuk dijahit.”

“Lalu kenapa baju bapak robeknya malah besar sekali?”

“Bapak ini bapak, harus lebih banyak penderitaan yang nongkrong di pundak bapak.”

“Dasar penyair,” jawabku sedikit melenguh.

“Memang apa yang berharga dari puisiku?” bapak balik nanya.

“Ya bapak sendiri.”

“Aku tahu itu, aku dan puisiku sebelas dua belas. Sama-sama gelap dan berkeringat.”

“Tapi aku rasa bapak itu adalah terang yang dimaksud oleh Yesus.”

 

“Itu hanya perasaanmu, bukan penglihatanmu. Sudah malam, lebih baik tutup mata dan segera tidur,” ujar bapak mengakhiri obrolan untuk kemudian menyalakan rokoknya dan juga matanya.

 

Aku masuk ke kamar. Merebahkan tubuhku yang suntuk ke atas dipan yang tahu bentuk. Menatap langit-langit tanpa aku tahu, saat itu bapak pergi menantang langit.

 

Esoknya subuh-subuh sekali saat aku terbangun. Aku melihat ibu sudah sibuk di dapur dengan ikan asin yang selalu diincar oleh kucing dan juga bapak. Asap mengepul dari sana, asap yang bapak curigai datang dari cerobong asap besi. Bapak memang terkadang lucu dan unik.

 

“Bapak kemana buk?” tanyaku singkat.

“Ia sudah jadi pusi,” jawab ibu tak mau kalah singkat.

“Tentang apa?”

“Kemerdekaan,” ibu menjawab semakin singkat.

“Mau-maunya ia jadi tahi.”

“Sejak kapan kau hapal isi puisi bapakmu?” tanya ibu sedikit heran.

“Sejak aku mencintainya. Memang ibu tidak?” balasku.

“Sedikit.”

“Aku ingin menulis puisi dulu.”

“Untuk apa?”

“Siapa tahu papasan sama bapak.”

“Awas tersesat, sudah cukup ibu kehilangan bapakmu,” jawab ibu dengan raut muka yang kutahu mesti sudah lama basah.

“Ia tidak hilang. Ia sedang bertarung. Ia ingin membentuk makna kata yang lain, kata penindasan sudah terlalu nancep di benaknya.”

“Kata apa maksudmu?”

“Perlawanan.”

 

Aku ingin menemui puisi. Puisi mengatakan bapakku masih hidup dan masih terus menagih. Bapakku tak mati-mati. Ia sosok yang betul-betul wani nggilani. Aku percaya itu bahkan tanpa perlu baca isi puisinya.

 

Tidur dan istirahatlah, pak. Kembalilah ke rahim dan biarlah aku yang bangkit bersama kata-kata. Aku akan jadi liar bersama rumput-rumput yang bernyanyi dan percayalah tak ada sanggup mencabutnya. Karena sekuat apapun usaha penguasa lahan mencabuti rumput yang dianggapnya liar, rumput itu tidak akan hilang. Mereka hanya akan menjadi semakin banyak. Terus memperhitungkan dan terus memperingatkan.

-hurumihara-

 

 

Cerita Pendek ini bercerita tentang apa yang saya rasakan ketika membaca perihal Widji Thukul. Perjuangannya yang luar biasa dalam kemanusiaan benar-benar menghentak nurani saya. Cerita pendek ini saya tulis dengan memasukkan beberapa bagian dari begitu banyak puisi yang telah beliau tuliskan. Saya percaya bahwa perlawanan yang selama ini ia lakukan tidak akan hilang begitu saja, melainkan akan menjadi ganda berlipat dan semakin kuat nan hebat. Lewat karya sastra saya yakin akan selalu ada perlawanan, untuk terus memperingatkan untuk terus memperhitungkan.

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *