Endapan Kekerasan Masa Lalu Masih Berkelindan di Tiro
Oleh: Diky Zulkarnen
Para perempuan di tiga Gampong di Kecamatan Tiro/Truseb, Pidie, menyaksikan pembumi hangusan Tiro selama dua hari berturut pada Juli 2001, saat para lelaki di Tiro telah menyingkir ke pengunungan sekitar untuk menyelamatkan diri. Para perempuan ini diteror, dipukuli, dan diintogerasi.
Aminah Ali, 65 tahun, bersama 20 perempuan lainnya, meninggalkan Gampong Pulo Keunari, Kecamatan Tiro/Truseb, Pidie, menuju ke Gampong Cot Murong, Kecamatan Sakti, Pidie, pada Selasa, 24 Juli 2001 pagi menjelang siang. Mereka berjalan kaki sejauh tiga kilometer melalui Gampong Lhok Panah, Kecamatan Sakti, dan melewati sungai dengan ketinggian air setumit.
Mereka hendak berkunjung ke tujuh rumah warga Gampong Cot Murong yang meninggal dunia. Masih tersisa satu rumah yang semula mereka ingin kunjungi saat nyalak senjata dari Gampong Pulo Keunari terdengar.
“Setelah mendengar suara letusan senjata, satu rumah lagi di Cot Murong tak sempat kami kunjungi. Kami memilih berdiam diri beberapa waktu di rumah keenam yang kami kunjungi di Cot Murong,” kata Aminah Ali, Senin, 19 Januari 2021.
Sewaktu bunyi letusan senjata reda, Aminah Ali bersama rombongan memutuskan untuk pulang ke Gampong Pulo Keunari. Mereka tiba sekitar pukul 15.00 WIB dan mendapati sebagian besar rumah mereka sudah hangus terbakar.
“Kami menemukan dua jasad warga gampong kami: Teungku Makam dan M Yusuf. Keesokan harinya, kami menggali dua kubur untuk memakamkan mereka,” sebut Aminah Ali lagi.
Para lelaki di gampong ini telah terlebih dahulu melarikan diri ke pegunungan Cot Rheng, Cot Cukok dan ke Gle Sala.
Teungku Makam, yang saat itu sudah berusia renta, berada di dalam rumah saat pasukan Brimob membakar rumahnya. M Yusuf—saat itu berumur 21 tahun—meninggal dunia ditembak. Lalu, Teungku Rasyid Batee, penjual garam bersepeda ontel dari Batee, meninggal dunia karena dilempar ke dalam kobaran api. Jenazah Rasyid belakangan dipulangkan keluarganya ke Batee, sekitar 35,5 kilometer dari Tiro.
Brimob BKO Tiro membakar 25 unit rumah, 27 unit kedai, dan satu unit kilang padi di Gampong Pulo Keunari, Selasa, 24 Juli 2001, karena dua rekannya tewas ditembak di Tugu Gampong Pulo Keunari di hari yang sama. Selain itu, pasukan Brimob juga menembak ternak-ternak warga.
Satu hari setelah pembumi hangusan Gampong Pulo Keunari, Brimob membumi hanguskan Dusun Labo Adang, Gampong Peunadok, Kecamatan Tiro/Truseb, Pidie, pada Rabu, 25 Juli 2001. 27 unit rumah di Dusun Labo Adang, Gampong Peunadok, Tiro, ludes terbakar.
Di hari yang sama, Brimob BKO Tiro yang saat itu ditempatkan di kompleks Mapolsek Tiro di Gampong Mancang, Kecamatan Tiro/Truseb, ini, juga membakar 25 unit rumah, satu kilang padi, dan satu kedai di Dusun Peulandok, Gampong Pulo Glumpang, Tiro/Truseb.
Luas Gampong Pulo Keunari adalah 8.96 kilometer persegi. Gampong ini dikelilingi sawah. Keuchik Gampong Pulo Kenari, Ilyas, mengatakan pada umumnya masyarakat di Gampong Pulo Keunari bekerja sebagai petani. “Jumlah penduduk di Gampong Pulo Keunari pada tahun 2001 diperkirakan lebih kurang 500 jiwa, terdiri dari 200 pria dan 300 perempuan,” kata Ilyas, Senin, 19 Januari 2021.
Pada tahun 2021, kata Ilyas, jumlah penduduk Pulo Keunari tercatat 600 jiwa, yang terdiri dari 250 pria dan 350 perempuan.
Kejadian ini tak lekang dari ingatan Nurhayati, 56 tahun, warga Dusun Peulandok, Gampong Pulo Glumpang, Kecamatan Tiro/Truseb, Pidie. Hari itu, ia sedang berselonjor di balai bambu di halaman rumahnya bersama dua anaknya, Sitihawa dan Aswadi, serta sepunya, Raimah.
Begitu kasak-kusuk kedatangan Brimob ke gampong tersebut sampai ke telinganya, ia dan anaknya masuk ke dalam rumah. Sementara, sepupu Nurhayati, Raimah, pulang ke rumahnya yang juga terletak di gampong yang sama.
Sesaat kemudian, lima perempuan lainnya, yang juga warga gampong setempat masuk ke dalam rumah Nurhayati.
“Sekitar tujuh orang perempuan dan dua anak-anak berada di dalam rumah saya pada hari itu,” kata Nurhayati, Selasa, 19 Januari 2021. Mereka memilih masuk ke rumah saya, karena rumah saya berkonstruksi semi permanen. Bila terjadi penembakan, mereka berpikir bisa bersembunyi di balik tembok rumah.”
Tak lama kemudian, pasukan Brimob tiba di depan rumah Nurhayati dan melempari kaca rumahnya dengan batu hingga pecah. “Buka pintu! Buka pintu!” ujar Nurhayati, menirukan ucapan salah seorang personel Brimob saat itu.
Nurhayati lantas membuka pintu. Seorang personel Brimob masuk ke dalam rumah. Melihat banyak perempuan di dalam rumahnya, ia memerintahkan perempuan-perempuan yang berada di dalam rumah, termasuk anak-anak, keluar.
“Saya tidak dibolehkan keluar. Saya tinggal sendiri di dalam rumah,” kenangnya.
Penasaran dengan apa yang terjadi di luar, Nurhayati bangkit dari tempat duduknya untuk melongok keluar. Namun, personel Brimob tersebut menghalanginya dengan mengayunkan popor senjata ke wajah Nurhayati. Lima kali Nurhayati bangkit untuk melongok keluar, lima kali pula popor senjata menghantam wajahnya. “Empat gigi saya copot,” kata Nurhayati.
Nurhayati kelak berhasil keluar dari rumah dengan menerobos pasukan Brimob tersebut. Dengan wajah berlumuran darah, ia bergegas menuju ke rumah tetangganya yang berjarak sekitar 20 meter dari rumahnya. Di rumah tetangganya itu, kedua anaknya bersama sejumlah perempuan lainnya telah dikumpulkan.
Para perempuan ini diminta untuk berdiri di bawah satu pohon kelapa. Pasukan Brimob menembak buah kelapa agar buah buah-buah kelapa terjatuh menimpa kepala para perempuan tersebut.
Brimob kemudian membiarkan para perempuan tersebut pergi karena mereka melanjutkan pembakaran rumah.
Nurhayati, dua anaknya, dan sepupunya, Raimah, meninggalkan Gampong Pulo Glumpang dengan berjalan kaki menuju ke Gampong Usi Campli, Kecamatan Mutiara Timur, Pidie, yang berjarak sekitar 7 kilometer dari Pulo Glumpang.
Sesampainya di Usi, suaminya, Maharaja, kini 67 tahun, menyambut istri dan dua anaknya dengan pelukan.
Dua hari kemudian, Maharaja dan Nurhayati bersama dua anak mereka, pulang ke rumah mereka di Dusun Peulandok, Gampong Pulo Glumpang, Kecamatan Tiro/Truseb. Karena rumah mereka telah dibakar, mereka menumpang untuk sementara waktu di rumah kerabat mereka yang terletak di gampong yang sama.
***
Beberapa hari setelah pembumi hangusan Tiro, bantuan sembako berdatangan. Nurlaili, 43 tahun, warga Gampong Pulo Keunari, mengatakan hari-hari setelah pembakaran rumah-rumah warga terjadi, mereka tinggal di rumah warga yang tidak dibakar.
“Di sana, kami tidur berdesak-desakan dalam satu rumah,” katanya, Senin, 19 Januari 2021.
Selama setahun setelah kejadian nahas tersebut, hampir setiap pagi pasukan personel pada kesatuan yang bernaung di bawah Polri, ini, masuk ke gampong untuk menanyakan keberadaan anggota GAM.
Para perempuan di Dusun Labo Adang, Gampong Peunadok, Tiro, mengungsi ke Meunasah (Surau) Labo Adang selama tiga bulan. Subuh selama masa-masa pengungsian, personel pada satuan elite di Polri ini datang untuk menanyakan keberadaan GAM. “Brimob datang sehari berselang selama kami mengungsi di sana. Saat-saat itu, kami menjalani hidup dengan saling berbagi makanan, pakaian dan apapun yang bisa dibagi,” kata Warni Idris, 48 tahun, warga Dusun Labo Adang, Gampong Peunadok, Tiro.
Pria muda yang sudah wajib KTP memilih meninggalkan Gampong Pulo Keunari dan sebagian besar gampong lainnya di Kecamatan Tiro. “Keluarga mengirim mereka untuk tinggal di rumah sanak saudara yang berada di luar gampong Pulo Keunari, seperti di Banda Aceh, Sigli, dan Lhokseumawe,” kenang Aminah Ali.
Pada 2002, rumah-rumah yang dibakar personel Brimob pada Resimen Pelopor di Tiro/Truseb dibangun kembali oleh pemerintah. Pemilik kedai diberi uang ganti rugi Rp 45 juta per unit. “Kami tidak memperoleh pendampingan untuk pemulihan trauma setelah peristiwa itu. Semua berlalu begitu saja seiring berlalunya waktu,” tutur Nurlaili.
Aminah Ali berharap kejadian serupa tak terulang lagi. “Trauma kami tidak pernah hilang jika teringat kejadian itu. Namun, kami hanya bisa meminta dan berdoa kepada Allah agar peristiwa seperti ini tidak kembali terulang,” kata Aminah Ali. “Semoga tidak terjadi lagi kekerasan, teror dan penembakan di sini. Biarlah hidup kami di sini aman dan damai sehingga kami bisa bebas bekerja dan mencari rezeki di gunung dan sawah.”
Selama tiga bulan sejak pembakaran Gampong Pulo Glumpang, Nurhayati beberapa kali salah mengikuti arah kiblat saat ia mendirikan salat. “Tiga bulan lebih saya merasakan trauma dan ketakutan. Pada bulan kempat, saya pergi berobat ke dokter di Kecamatan Sakti. Saat diperiksa, dokter bilang saya mengalami ketakutan dan trauma,” kata Nurhayati. “Saya tidak menginginkan hal seperti itu kembali terulang.”
Post-traumatic stress disorder dan psiko sosial
Koordinator Yayasan Pulih Aceh, Dian Marina, 48 tahun, mengatakan setiap orang yang pernah ditangkap, diintogerasi, diancam, dibentak, dan menyaksikan peristiwa kekerasan yang luar biasa di masa konflik bersenjata antara GAM dan Pemerintah Indonesia, memiliki ketahanan atau resiliensi yang berbeda-beda antara satu dan yang lain. “Resiliensi ini sangat tergantung pada masing-masing orang yang pernah mengalami kekerasan di masa lalu dan skala peristiwa,” kata perempuan yang telah bergelut di bidang psiko sosial selama 16 tahun, ini, Minggu, 24 Januari 2021.
Secara umum, korban yang pernah mengalami dan menyaksikan kekerasan di masa lalu bisa saja akan mengalami post-traumatic stress disorder (PTSD) atau gangguan stres pascatrauma. “Sampai sekarang, gambaran tentang peristiwa itu masih ada dan tak pernah hilang di dalam kepalanya. Di permukaan memang tidak terlihat, tapi jika ada pemicu, gambaran peristiwa tersebut akan muncul kembali. Misalnya, ada yang bertanya-tanya tentang peristiwa dulu, kemudian, misalnya, yang pukul dulu berbaju loreng, saat dia melihat baju loreng, ingatannya tentang peristiwa dulu bisa muncul kembali, dan dia histeris,” katanya, menjelaskan.
Kategori kedua, korban mengalami kehilangan kosentrasi dan kehilangan kepekaan. “Jika dia melihat orang dipukul, dia akan biasa-biasa saja. Sudah mati rasa. Dampak dari trauma yang selanjutnya adalah rusaknya interaksi dan hubungan sosial. Korban tidak suka ditanya-tanya, dan dia tidak suka berada di keramaian,”
Jika trauma yang dialami oleh para korban ini tidak dipulihkan, kata dia lagi, hal itu akan berdampak pada perubahan karakter sehingga kekerasan yang pernah dialami, dilihat, dan pernah dilakukan akan berpindah ke ruang domestik. “Dia daerah bekas konflik, orangtua yang memukuli anak mereka agak mengerikan,” tuturnya.
Semestinya, para korban kekerasan di masa lalu, sebutnya lagi, harus ditangani oleh psikolog atau psikiater. “Trauma mereka (korban) harus dibongkar. Harus ada upaya pemulihan,” ujarnya.
Kendala yang dihadapi Aceh hari ini adalah rasio korban konflik dan jumlah tenaga psikolog klinis sangat timpang. Untuk menutupi ketimpangan tersebut, upaya yang dilakukan adalah pemulihan psiko sosial berbasis komunitas. “Pemulihan psiko sosial mengandalkan resiliensi korban untuk bertahan dan dukungan keluarga, lingkungan, serta orang terdekat korban. Jadi resiliensi korban yang dikuatkan. Tapi pemulihan tersebut tidak dapat memulihkan secara total seperti sediakala,” tuturnya.
Note: Penulis adalah penerima fellowship dari pelatihan HAM, media dan keadilan transisi yang diselenggarakan oleh AJI Banda Aceh, KontraS Aceh, LBH Banda Aceh dan AJAR
Salinan ini telah tayang di https://sinarpidie.co/aksara/endapan-trauma-usai-aparat-membakar-tiro/index.html
Itulah Sebuah Fakta dan Data nyata dampak dari sebuah Konflik…..Semua berjalan seperti tanpa kendali…. Masyarakat menjadi korban dari peristiwa ini…. Lalu bagaimana Semua ini kini ditangani???