Lawan Menjadi Kawan Usai Perang di Kampung Kresek
Oleh : Indra Wijaya
“Dorr..doorr,” suara tembakan dari arah gunung dilepaskan. Warga yang berjaga terkejut mendengar suara tembakan itu. Sutrisno bersama warga lainnya langsung berlari ke arah tembakan. Betul saja, kelompok separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) baru saja menyerang desa.
“Serbuuuuuuu,” Sutrisno mengintruksikan para warga membalas tembakan. Suasana malam yang semula hening, berubah dalam sekejap. Cahaya dari letusan menghiasi malam di Desa Kresek (saat ini berubah menjadi Sedie Jadi), Kabupaten Aceh Tengah (sebelum pemekaran menjadi Bener Meriah).
Empat jam sebelum serangan terjadi. Sutrisno yang saat itu menjabat sebagai Reje (Kepala Desa) mencoba menyadap informasi GAM menggunakan Handie Talky (HT). Mereka sengaja menggunakan HT untuk mengetahui daerah mana yang akan diserang oleh GAM. Meski kesulitan memecahkan kode milik GAM, mereka mencoba menerka-nerka desa apa yang menjadi sasaran militan itu selanjutnya.
Mereka hanya berbekal senjata rakitan yang disebut kecepek. Amunisinya diolah dari korek api. Sebab untuk mendapat amunisi asli saat itu cukup sulit. Jarak tembak senjata rakitan itu sendiri mencapai 200 meter dan bisa mematikan lawan dengan jarak 60 meter. Saat itu warga disana bisa dikatakan cukup beruntung. Sebab salah satu warga desa Sutrisno mampu mengolah bahan-bahan bekas menjadi senjata rakitan.
“Itu beberapa bengkel yang ada di dekat desa jadi tempat pengolahan senjata rakitan,” kata Sutrisno saat ditemui AJNN, Sabtu (9/1).
Ketika warga Kampung Kresek tengah mempersiapkan diri untuk bertahan, beberapa desa lain yang dihuni oleh suku Jawa lah tterjadi pembantaian. Sweeping yang dilakukan oleh para militan itu semakin masif terjadi. Paman Sutrisno salah satunya yang menjadi salah satu korban.
“Hal itu semakin memperkuat saya bahwa ada upaya mengusir suku Jawa dari Aceh,” ucapnya.
Sutrisno sendiri mengaku, bahwa dirinya sudah lama tinggal di Aceh Tengah. Ia dan ayahnya lahir disana. Jikapun disuruh kembali ke tanah Jawa, ia dan warga desa lainnya tak tahu mau lari kemana. Ia saat itu berdalih, karena Indonesia sudah merdeka, sebagai warga negara berarti ia berhak tinggal di tanah Aceh. Keputusan warga saat itu sudah bulat. Musuh yang harus mereka lawan sudah jelas. Senjara musuhpun sangat canggih. Sementara warga Kampung Kresek hanya berbekal senjata rakitan, itupun perlu waktu untuk melepas tembakan.
Rasa khawatir semakin bertambah, apara saat itu tak ditempatkan di desa. Padahal Sutrisno telah menemui Bupati Aceh Tengah yang saat itu dijabat Mustafa Tami, agar aparat keamanan ditempatkan di Pondok Kresek.
Beberapa bulan sebelum kejadian juga, Pirin salah seorang warga menyarankan agar dibuatkan Bunker (lubang pertahanan), di salah satu sudut desa. Hal itu tak lain sebagai tempat perlindungan untuk ibu-ibu, lansia dan anak-anak.
Sutrisno mengatakan, memasuki awal tahun 2001 keadaan s semakin memanas. Handy Talkie (HT) yang mereka miliki tak berhenti bergeming. Saling tanyak keadaan desa rutin mereka lakukan. Sebab, setahun sebelumnya para warga sudah tidak tidur dirumah masing-masing. Saat para kaum perempuan berkumpul disatu tempat, kaum laki-laki yang berjaga diseputaran desa.
Malam Bedil
Malam, 5 Juli 2001. Seperti malam-malam sebelumnya, warga lelaki masih rutin berjaga. Mereka membentuk tiga pos untuk saling memberi informasi. Post pertama terletak di pintu gerbang desa. Kedua di post atas, dan satunya terletak di ujung desa yang berada di atas ketinggian. Saat itu, informasi berkembang akan terjadi penyerangan di salah desa. Mereka belum tau pasti desa mana yang menjadi sasaran.
Dari analisa semampunya menggunakan HT, mereka mencoba mencari informasi akan tempat penyerangan oleh GAM. Dari analisa itu, bahwa memang benar akan terjadi penyerangan. Sasarannya yakni Desa Sidodadi dan Pondok Gajah, bukan Kampung Kresek.
Namun hal lain dirasakan Sutrisno. Ia mencoba menganalisis informasi tersebut. Sebab di Pondok Gajah ada Koramil dengan 12 anggota TNI. Dan informasi yang berkembang pula, bahwa enam diantaranya sudah diletakkan di Sidodadi.
Sebagai orang dituakan di desa, Sutrisno berjaga di post paling bawah lengkap dengan senjata rakitan, HT dan sepatu PDL. Di post atas, ada beberapa lelaki di tempatkan disana.Jelang pukul 22.00, salah seorang dari mereka menuju ke arah semak untuk buang air kecil. Tak jauh dari tempatnya, ia menoleh kearah bukit. Sekitar 30 meter ada orang yang berendab-endab. Ia segera memberi tahu temananya bahwa ada orang masuk.
Belum sempat menjawab, “Dor,….” suarakan tembakan langsung merubah keheningan malam itu. Sutrisno yang berada di post bawah langsung mengumpat.
“Kurang ajar anak-anak itu. Main petasan malam-malam,” kata dia. Bak dalam film peperangan, Sutrisno langsung berteriak “Serbuuuuuuuuuu,” dengan suaran menggema diiringi sahut-menyahut bedil.
Rentetan demi rentetan senjata otomatis langsung diarahkan kepada kelompok Sutrisno. Mereka saling balas tembakan. Namun senjata rakitan milik Sutrisno dan kawan-kawan masih kalah jauh dengan senapan serbu AK-47 milik GAM.
Karena jumlah peluru yang terbatas, jumlah tembakan yang dilepas pun harus lebih dihemat. Tembakan baru dilepas jika sasaran sudah jelas terlihat. Sutrisno dan kawan-kawan semakin terdesak. Rekannya yang berada di post atas memilih mundur. Perempuan, lansia dan anak-anak sudah dimasukkan ke dalam Bunker. Sutrisno dan kawan-kawan terus memberikan perlawanan.
“Jumlah mereka ada banyak, tidak tau berapa. Yang jelas banyak,” ucap Sutrisno.
Listrik padam, tapi suasana terang benderang. Baik itu cahaya dari letusan senjata, maupun dari bulan yang kebetulan saat itu sangat terang. Bayangan para anggota GAM itu jelas terlihat.
Masing-masing dari mereka berusahan menyelematka diri sendiri. Sebab sebelum perang, Sutrisno berpesan kepada warga agar bisa menjaga dirinya sendiri. Meski terus mendapat serangan, Sutrisno dan kawan-kawan tak memilih untuk melarikan diri. Mereka hanya menghindar saja, menyelinap dari balik rumah ke rumah. Mereka tak bisa berlari. Mengendap seperti maling jadi jalan keluar. Sesekali tembakan dilepaskan.
Ketika hendak sampai ke pos atas, mereka menemukan salah seorang tergeletak akibat terkena tembakan. Namanya Edy Mulyono. Ia menghembuskan nafas terakhir saat hendak dievakuasi ke dalam Bunker.
Rumahpun tak luput dari sasaran. Rumah milik Sutrisno dan beberapa warga lainnya hangus terbakar.
“Waktu dibakar rumah itu kami masih dilokasi,” kenangnya.
Melihat salah satu warganya tertembak, Sutrisno memutuskan untuk tidak melanjutkan ke pos atas. Namun ia menghindar ke sisi lain di ujung desa. Setibanya disana, ia menemukan beberapa rumah sudah hangus terbakar. Suarakan tembakan baru reda sekitar pukul 23.30 WIB. Pelaku sudah meninggalkan desa dengan sesekali melepas tembakan ke udara.
Ia memperkirakan jumlah pelaku ada ratusan orang. Masing-masing pelaku bertugas ada yang memegang senjata, ada yang membawa minyak untuk mengeksusi rumah warga.
Selepas kejadian, warga mulai menyisir kampung. Pirin 60 tahun adalah korban meninggal pertama kali ditemukan. Awalnya mayat Pirin saat ditemukan tak dikelali lagi. Sebagian badannya hangus terbakar. Lalu Edy Suyono, ia terkena tembakan dan meninggal saat hendak di evakuasi ke bunker.
Zen Kaharuddin 50 tahun, ia meninggal di dalam bunker akibat serangan jantung. Kemudian Marnak, 60 tahun, ia meninggal dunia dan baru ditemukan abu jasadnya setelah warga mematikan kobaran api di salah satu rumah. Terakhir, Yuni Prastika, dua tahun. Timah panas menembus tubuhnya. Ia meninggal dunia saat hendak dilarikan ke rumah sakit.
“Kemungkinan Yuni terkena peluru saat GAM menembak membabi buta ke arah rumah. Kebetulan rumah itu bahan dasarnya kayu,” jelas Sutrisno.
Peristiwa 5 Juli 2001 di Desa Pondok Kresek itu memakan korban jiwa lima orang, 15 rumah dan balai desa ludes dilalap api. Aparat keamanan baru tiba dilokasi sekitar pukul 00.30 WIB.
“Aparat sudah telat datangnya. Karena mereka juga takut naik keatas,” ujarnya.
Perlahan Bangkit
Hampir 20 tahun pasca penyerangan di Pondok Kresek. Perlahan masyarakat disana mulai bangkit. Saat saya bertemu Sutrisno di Desa Sedie Jadi (dulunya Pondok Kresek, setelah pemekaran berubah menjadi Sedie Jadi). Letaknya berada di jalan Simpang KKA. Udara dingin masih menyelimuti perkampungan itu. Desa Sedie Jadi, Kecamatan Bukit merupakan salah saksi tempat terjadi perang etnis saat konflik mendera di Aceh.
Pagi itu saat saya masuk ke desa, suasanan tampak sepi. Pintu masing-masing rumah ditutup. Namun kiri-kanan jajaran kebun kopi terbentang luas disana. Sedie Jadi sendiri dihuni sebanyak 165 KK dengan kamoditas utama yang dihasilkan di desa itu adalah kopi. Berbeda saat konflik terjadi. Desa itu hanya dihuni 70-90 KK kurang lebih.
Pembangunan tampak bangkit di desa. Warga beraktifitas seperti biasanya. Pagi pergi ke kebun dan baru kembali ke rumah di sore hari. Udara cukup sejuk disana. Warganya pun sangat ramah. Mereka tak berlarut-larut dalam kenangan masalah lalu. Satu sama lain mulai berbaur. Baik itu mantan kombatan maupun warga sekitar.
Mus Mulyono misalnya kandung dari Alm. Edy Suyono. Ia kini mulai bangkit dari keterpurukan. Ia kini sibuk berladang. Saat ditemui, ia sedang bersiap menuju ke ladang di Desa Norah. Jaraknya hanya sepuluh menit menggunakan kendaraan bermotor.
“Abang saya jadi salah satu korban,” kata Mus dengan mengenakan jaket hitam, celana jeans dengan sedikit noda lumpur dan sepatu bot. Wajahnya agak runcing, tak menandakan orang asli tanah gayo.
Mus mengatakan saat ini ia tak lagi merasa dendam atas kematian abangnya. Di kebunnya sendiri, dia bercocok tanam bersama para mantan kombatan. Mereka saling berbaur satu sama lain. Saling tukar informasi dan pengalaman. Malahan ia bersama para kombatan bersama-sama ke kebun untuk berburu hama babi. Jika dulunya warga Sedie Jadi musuhnya GAM, saaat ini mereka memiliki musuh bersama yakni babi yang merusak ladang mereka.
“Ke hutan kami sama-sama berburu hama babi. Malah saling canda satu sama lain,” kata Mus Mulyono.
Sementara itu Ahmad keluarga dari Alm. Marnak, mengatakan bahwa keluarganya sudah melupakan kejadian itu. Ia dan keluarganya perlahan-lahan memulai hidup dengan kesibukan di kebun.Bercocok tanam kopi jadi rutinitasnya. Meski saat ini kopi sedang dalam harga yang tidak menentu, hal itu tetap ia jalankan.
“Rata-rata korban yang meninggal itu masih ada ikatan saudara semuanya,” kata Ahmad saat ditemui di depan rumahnya. Sebatang rokok ia hisap perlahan. Asapnya mengepul di udara yang berbaur dengan dinginnya senja.
Untuk mengingat para korban yang gugur saat itu, Ahmad dari warga lainnya membangun tugu peringatakan tepat di tengah-tengah desa selang beberapa tahun setelah tragedi. Disana tertulis nama-nama korban. Hal itu mereka lakukan bukan semata-mata untuk meratapi kepergian korban.
Namun sebagai bukti sejarah masa konflik bahwa etnis Jawa di Aceh Tengah pernah mengalami mimpi buruk saat konflik terjadi. Selain itu, fungsi tugu itu juga sebagai bentuk rasa hormat kepada kelima korban yang sudah wafat. Juga pengingat kepada kaum muda agar hal yang pernah dialami mereka dimasa lampau tak terulang kembali.
Hal serupa juga dikatan Sutrisno. Ia kini sibuk bercocok tanam kopi dan tanaman muda di kebun. Setelah konflik mereda, ia pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Tengah selama tiga periode. Ia merasa Aceh sudah damai, usai kesepakatan menghentikan konflik antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005 silam. Kesepakatan ini dikenal dengan MoU Helsinki.
Sutrisno turut aktif dalam menjaga damai Aceh, meredam konflik di daerahnya. Dia rutin mengajak para kombatan wilayah Linge agar turun gunung dan menyerahkan senjata. Meski desa pernah diserang oleh GAM, ia tak pernah menyimpan dendam. Malah ia meyakinkan para kombatan itu agar turun gunung.
“Saya ajak mereka turun. Satu demi satu. Soalnya konflik banyak orang menderita,” kenangnya.
Setelah 15 tahun perjanjian Damai Aceh, Sutrisno mengatakan tak ada lagi gesekan antara mantan GAM dengan warga di kampungnya. “Semuanya sudah selesai saat damai Aceh, kami sudah menjadi kawan,” katanya
Sutrisno menyebut kejadian lama hanya sebagai pengingat tentang pahitnya konflik Aceh. Bahkan kerukunan warga dengan mantan kombatan menarik untuk dipelajari oleh berbagai pihak di dunia. “Berbagai komunitas dan negara asing berkunjung kemari untuk mempelajari suasana damai,” katanya.
Ia bersama salah seorang mantan GAM juga pernah ikut menjadi narasumber berbagi pengalaman kepada 27 warga asing dari 16 negara yang berkunjung ke sana. Para warga asing tergabung dalam Rotary Peace Center dan berpusat di Chulalongkorn University, Thailand.
Tugu perlawanan rakyat masih berdiri tegak di Kampung Kresek hingga kini. “Itu harus dirawat, semata-mata untuk mengingat dan belajar, harapannya agar konflik tak pernah lagi terulang di tanah kita,” tutup Sutrisno.
Ia mengenang saat dia berkumpul dengan para mantan kombatan di salah satu acara di Aceh Tengah. Rasa was-was para kombatan terhadap dirinya masih ada. Ia mencoba menerka-nerka bahwa para kombatan itu takut kalau dirinya akan membalas dendam.
“Kalau saya namanya Aceh sudah damai. Jadi saya ikut nimbrung pas mereka kumpul. Toh Aceh sudah damai,” katanya.
Baginya, 15 tahun damai Aceh ini, hal-hal dendam masa lalu tak perlu diungkit lagi. Sebab baginya hal itu biar menjadi sejarah kepada anak cucu. Bukan berarti hal itu harus dilupakan.
Saat saya menemui beberapa korban konflik Aceh, hal serupa mereka katakan. Bahwa mereka telah memaafkan pelaku baik itu dari TNI ataupun para Kombatan GAM. Meski telah memaafkan, mereka tidak melupakan kejadian itu. Juga mereka mengatakan hal yang sama, bahwa perhatian untuk para korban konflik agar lebih ditingkatkan.
Sebab bagi mereka, yang ada dalam konflik bukan hanya Tentara dan para kombatan saja. Ada rakyat sipil di sana yang menjadi korban. Peran dari Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) juga mereka anggap kurang terlibat. Sebab bagi mereka, ada duka dan luka yang terkenang akibat konflik yang mendera Aceh.
Note: Penulis adalah penerima fellowship dari pelatihan HAM, media dan keadilan transisi yang diselenggarakan oleh AJI Banda Aceh, KontraS Aceh, LBH Banda Aceh dan AJAR
Salinan ini telah tayang di https://www.ajnn.net/news/usai-perang-di-kampung-kresek/index.html.