Hilang, dan Suara yang Tetap Abadi!

Mentari baru saja terbangun dari tidur malam, sinarnya tak sepenuh hati menerangi bumi. Ada rasa enggan yang beberapa menyelinap dalam sinar terangnya. Sementara itu lalu lalang kendaraan roda dua dan empat mulai meramaikan jalanan, terlihat banyak sekali aktivis baik dari buruh, masyarakat sipil dan tak lupa mahasiswa dari berbagai kampus berkumpul hingga kemudian debu dan suara knalpot kendaraan mereka saling berkejaran memenuhi jalan.

 

Tibalah mereka pada tempat yang menjadi tujuan apalagi kalau bukan kantor Gubernuran yang sangat mewah dengan arsitektur terkini di tengah kota.

 

Di tengah ramainya derap langkah dan krumunan masa yang membawa spanduk, selebaran, brosur, dan poster yang dibentangkan ke arah gedung mewah itu yang berisi tuntutan penegakan HAM di negeri ini : #TOLAKOMNIBUSLAW #DEWANPENGKHIANATRAKYAT #RAKYATTOLAKUUCIPTAKERJA, dua orang pemuda berkalungkan name tag pengenal bertuliskan PERS sibuk menyelinap kerumunan aktivis, pemuda satu sibuk dengan lensa kameranya dan membidik beberapa potret suasana mencekam dan tulisan poster yang dibentangkan. Gelagak amarah tentu saja sangat terpancar pada raut wajah aktivis yang menuntut keadilan di depan gedung mewah itu.

 

Pemuda dua tak kalah sibuknya, dia sibuk dengan memencet tombol hp nya meski di tengah suasana yang mencekam tak menyurutkan semangatnya untuk terus meng-update dan menggali informasi agar dapat menyajikan berita yang dibutuhkan semua orang meskipun ia harus rela basah kuyup terkena siraman gas air mata dan sesekali jatuh tersungkur akibat masa yang mulai tak terkendali.  Dia mulai menulis, mencatat, dan merekam informasi berdasarkan fakta peristiwa di lapangan.

 

Senja mulai merayu malam ke tepian, mereka berdua berbalik menuju arah parkiran, naik motor berboncengan terbayang rencana besar setelah seharian menjalankan tugasnya di lapangan. Satu gerakan tunggal penghancuran, motornya mulai masuk ke dalam gang kecil menuju sebuah rumah mungkin lebih tepatnya bisa kita sebut kontrakan. Mereka menyebutnya markas, turun dari motor mereka langsung misuh dan marah, “Anjing, sudah seharian kami berdiri di depan gedung mewah tak ada satupun penguasa gedung yang mau keluar. Bukan jawaban yang kami peroleh melainkan gas air mata serta pukulan tongkat dari pak Polisi, parah”

 

Rekan-rekannya yang lain hanya duduk santai di dalam rumah itu, mereka berdua menjatuhkan pantatnya di atas sofa sembari menyerahkan hasil beberapa potret gambar dan informasi yang telah mereka peroleh tadi untuk di eksekusi. Salah satu pemuda yang sudah menunggu dari tadi lantas bertanya kepada mereka : “Bagaimana hasilnya?” kedua pemuda tadi lantas menyalakan sebatang rokok dan kompak menjawab “Sikat Sajalah”, semua mengangguk dan paham apa yang harus dilakukan.

 

Kata orang, malam adalah sebuah pengharapan. Dimana orang-orang dapat dengan bebas meraih mimpi mereka dalam lelap. Kini puisi tentang rakyat kecil, buruh, serta omnibus law syairnya menyeruak dan mengudara ke telinga kota. Menusuk pengengaran orang-orang yang bebal akan rutinitas, dan sangat abai terhadap penderitaan di sekitarnya. Mereka orasi hingga meledakkan langit, kasus-kasus kekerasan hingga pelanggaran HAM kembali disuarakan, menuntut penanganan dan mengutuk pihak-pihak yang terlibat. Suara-suara itu disatukan hingga kemudian menjadi pernyataan sikap pada pihak yang harus bertanggungjawab dan pengambil keputusan, demi masa depan yang lebih baik dan perbaikan.

 

“Aku nebeng pulang ya nanti”. Ucap Remi, pemuda yang hari ini sibuk memotret jalannya demo di lapangan tadi.

 

“Boleh, tapi kita ikut nongkrong yang lain dulu yah, ngopi-ngopi dulu lah sekalian evaluasi hasil liputan kita”. Saut Faiz rekan Remi yang hari ini ikut turun lapangan.

 

“Oke siap”. Seru Remi

 

Di mata hati rekan-rekannya, Remi dan Faiz adalah Jurnalis yang selalu mengedepankan pembelaan terhadap rakyat kecil. Sebagai calon sarjana ia selalu akrab dengan rakyat kecil yang termarjinalkan, baik secara ekonomi maupun politik. Tak pelak aksi jurnalis ini mengalami benturan dan hadangan. Bukan hanya di lapangan namun di lingkungan internal tempatnya mengenyam ilmu sebagai mahasiswa (Kampus), hadangan dan benturan sering terjadi.

 

Bahkan terkadang suara sumbang menggema dari rekan-rekan seprofesinya terhadap dirinya yang dianggap sok idealis dan pahlawan kesiangan.

 

Seluruh perlengkapan dirapikan kembali ke dalam tas dan sisanya dimasukkan ke dalam laci dan lemari pada kontrakan itu. Sebagian lagi membersihkan sampah. Pemuda-pemuda itu melangkahkan kaki ke parkiran, saling berboncengan naik lima motor, beriringan dan membelah riuhnya jalan malam itu. Setelah ngopi, Remi dan Faiz berpamitan setelah berperang di medan perang. Perlahan motornya melaju semakin jauh meninggalkan tempat angkringan langganan ngopinya itu.

 

Gerombolan lelaki berjaket kulit hitam bak preman di tv siap siaga di kanan-kiri jalan. Identitas tentu saja ditutupi dengan sarung wajah ditambah helm hitam pekat yang tidak tembus pandang dari luar. Mata-mata lelaki itu terlihat seperti mata anjing yang sedang mengintai mangsanya, sangat ganas. Masing-masing dari mereka membawa tongkat kayu dan besi. Semakin dekat, posisi tepat, satu kode, gerombolan pria itu merengsek maju dan menghadang laju motor dari Remi dan Faiz. Naas, saat itu jalanan tengah sepi karena Remi dan Faiz memilih jalan tikus agar lebih cepat sampai ke kos mereka. Siapa sangka, sepi dan sunyinya jalanan menjadi saksi terakhir kalinya ia dapat melihat Remi dan Faiz berada di muka bumi. Keesokan harinya dunia kembali beraktivitas seperti semula, tanpa ada yang tahu dan sadar sesuatu hal besar dan keji telah berlangsung malam tadi. Bukan dunia melupakan dan acuh, hanya saja semuanya telah di setting dengan sempurna oleh penguasa yang berwenang.

 

Nampaknya berita mengenai tuntutan demo mengenai UU Cipta Kerja atau Omnibus Law hanya bertahan beberapa hari saja di negeri yang katanya indah ini, lagi-lagi berita mengenai artis kawin-cerai serta sensasi dari Syahrini yang menampilkan jargon maju-mundur cantik jauh lebih penting dan seru untuk diikuti. Simpati pudar, tidak ada yang tau bagaimana naasib kedua aktivis itu (Remi dan Faiz), kini semua berganti tawa lucu penghibur kalbu. Oh luka, terbiar kau diejek tawa, dan tragedi semalam perlahan hilang, mengendap di alam bawah sadar, tak tersentuh oleh siapapun.

 

Dan sementara itu kedua aktivis semalam tengah berjuang agar dapat bisa pulang bertemu dan berkumpul dengan kawan dan keluarga yang sudah menantinya selama ini…

 

Terimakasih Remi dan Faiz, meskipun ragamu kini tak diketahui kemana dan dimana namun karyamu, suaramu, dan apa yang pernah engkau pejuangkan tetap abadi selamanya…

 

Lina Mei Tina

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *