“Merengkuh Mei di Kamis Sedu”
Pekik cumengkling tak lagi menggaung aum
Kawula mendadak didesak bungkam
Netranya lekas membiru usai dibebat kain jarik
Rintihnya mulai menggema pilu,
“Salah apa kami?”
Analekta berbalut serba hitam riuh di depan istana
14 tahun Kamisan kembali digantung pemangku
Orang tua kembali memapah rindu teramat sedu
Bersimbah peluh dan juga tanda tanya,
“Mana anak kami?”
Mei sudah terhitung singgah untuk ke-23 kalinya
Namun tilas justru kian mengabur
Mereka yang lenyap sudah pasti direngkuh semesta
Sorai kami kepada sang pemangku,
“Mau sampai kapan ditutupi?”
Selly Fitriyani Wahyu
Aksi Kamisan yang sudah dilangsungkan sejak tahun 2007 nyatanya belum mampu menemukan titik terang. Silih berganti pemimpin, penyusutan HAM di Indonesia tak lekas ditanggapi serius. Negara justru cenderung bersikap impunitas dan terkesan tidak mengacuhkan setiap surat terbuka yang dikirimkan. Oleh karena itu, melalui puisi bertajuk “Merengkuh Mei di Kamis Sedu” penulis kembali mempertanyakan eksistensi mereka yang lenyap dengan senyap pada sang pemangku.