Asing dan Berpulang
Hidup hanya menjadi pertanyaan bagi kedustaan dan keadilan, dalam ramainya pasar manusia yang hanya mati dan tertelan dalam sejarah di bawah kibaran negara.
Seperti hidup, dusta yang terus bertanya-tanya
Seperti keadilan, yang buta dalam kehirukan
Dan seperti memar, yang kian gagap menutup mulut
Dan hidup, yang hilang dalam hiruk pikuk
Seperti pahlawan-pahlawan dalam novel lusuh dan basah
Dan kertas sobek
Manusia-manusia hilang dalam kepulangan
Kerbau-kerbau hijau diladang tani
Hidup berjalan seperti tak tahu mati kapan
Seperti nasib manusia
Dalam perjalanan akan kebebasan
Penuh pengasingan
Pantai pinggir Bali tahun 66
Membuang kembali jaminan kehidupan
Terbuang dari sisa-sisa pasar ikan
Memulai kembali kokangan peluru-peluru tajam
Berteman ratusan korban kemelaratan
Terkubur dalam gundukan pasir lagi
Mayat-mayat ramai bertumbuk
Kemudian tahun berlari lagi
Suara-suara orang buruh berisik lagi
Membawa baja dan godam pabrik
Hilang lagi di hutan sawit
Dengan segenggam baju tak dicuci satu tahun lamanya
Sastrawan berkumur-kumur lagi
Tanda setia hadir kesunyian
Yang menemani setiap gaji tidak bernadi
Pakai tulisan-tulisan amatir
Bukan pukulan pisau, apalagi sambit
Dipukul tongkat dan senapan laras panjang
Dan mereka-mereka hilang
Bersama dasawarsa-dasawarsa memori
Yang tidur dibawah rak kasur istri
Di kolong jembatan raya ibu kota
Hiduplah, dengan menebar api kebebasan
Dan sampailah pada cerita mulia
Lewat teriakan-teriakan suara tak bersuara
Penuh sesak lewat pistol perak cerah
Menebus suara paruh bunyinya mengoceh
Yang tak serta hilang dan berpaling
Menebus kuburan-kuburan kosong di tanah sawah
Meminta keadilan
Meninggalkan janda dan duda dalam perumahan
Serta anak yatim dan piatu dalam kamar
Kemudian doa-doa dipanjatkan
Dari mulut tak berdosa dan yang beriman
Meminta kelelahan yang sudah bosan disulut
Kepulangan yang hilang hingga menuju keabadian
Sampai berkelana, sampai samudera lepas
Petani
Korban-korban penghilangan di Indonesia telah menjadi realitas masyarakat Indonesia. Mula-mula kehilangan tersebut hanya akan menjadi akar sejarah dan luput, menjadi cerita sejarah dan dongeng tanpa keadilan lebih lanjut. Ribuan hingga jutaan dugaan simpatisan PKI misalnya, nama-nama mereka hilang dari peradaban, kemudian kejelasan kasus buruh wanita Marsinah yang mangkrak, sampai sastrawan-sastrawan yang hilang dan dibungkam seperti Widji Thukul yang tidak pernah berpulang puluhan tahun lamanya. Setiap penghilangan tanpa keadilan dan kejelasan akan menghasilkan derita bagi keluarga yang ditinggalkan. Kata-kata maaf dan doa bagi mereka adalah sikap dari orang-orang terkasih dari yang telah hilang. Suara-suara keadilan tetap bersuara. Namun tanggung jawab akan penghilangan paksa menjadi sebuah sejarah yang belum terungkap dan berakhir.