Yang Terlanjur Mati
Diam.
Bungkam.
Sengap.
Mendadak lumpuh,
seakan buntu,
padahal batu,
sudah tak mau tahu.
Yang dipaksa hilang yang dipaksa diam.
Yang berperan pura-pura lupa peranan.
…
Pendengaran disumpal,
Muka menebal,
Dimana?
Kemana?
Sampai bukan lagi hadir, bahkan raga, yang diharapkan.
Dimana?
Kemana?
tinggal kepastian menjadi satu-satunya jalan merelakan.
…
Kalau terlanjur kau rusak raganya, mengapa tak juga kau biarkan kami merawat jiwanya?
kalau terlanjur kau lecehkan api dalam dirinya, mengapa tak juga kau biarkan kami
menghormati jejak juangnya?
kalau terlanjur kau bisukan amarahnya pada kezaliman, mengapa tak juga kau biarkan
kami meneriakan diamnya pada kata-kata?
bukan urusanku untuk mengintip empatimu yang menghitam
biar kau tanya dirimu sendiri mengapa kau biarkan ia sampai legam
janji manis sudah berkali-kali kami telan
sungguh, kami hanya ingin keadilan untuk mereka yang hilang
…
Di tengah-tengah rasa percaya yang sudah hampir kehilangan penopang,
Kami tidak ingin meredupkan cahaya yang mereka sisakan.
Karena mereka, harapan ini masih ada,
karena mereka, penantian ini terasa layak,
karena mereka, kami tau mengapa berjuang sepedih ini melahirkan kuat sehebat ini.
Walau kau matikan kami berkali-kali,
setidaknya ada yang kami pahami
hilangnya mereka, dan bungkamnya negeri ini
tidak membuat kita menjadi mati,
tapi justru membuktikan kita pernah punya orang berani.
Kamis, 20 Mei 2021 . 16:34 WIB
-Aisyah N.Fitri (Ruang Tumpah)-
Ini tentang amarah yang tidak akan pernah usai sebelum keadilan muncul di permukaan. bukan janji manis sebagai aksi simbolis semata yang diperlukan, tapi kemauan untuk memberi hak kompensasi penuh pada yang sudah menjadi korban kezaliman negara. dari mulai menunggu hadirnya raga, sampai tinggal mengenang jiwa, dan sudah tidak berharap apa-apa selain kabar soal nasib yang digantung sekian tahun lamanya. masih soal mempertanyakan, masih perihal menagih kejelasan, masih perihal tidak akan diam walau negara masih bungkam.