Camp Timor Timur, Noelbaki, NTT — Yohana Da Silva Pinto
Bersama senja di sudut jendela kamar dalam keheningan dan merenungkan apa yang pernah dan telah terjadi di tahun 1999 perih menyayat hati kala memori 1999 di putar kembali dalam pikiran dan dituangkan dalam selembar kertas putih yang akan menjadi saksi bagaimana banyak darah yang tertumpah dan perjuangan yang di alami para pejuang.
Tahun 1999 adalah awal dari stigma Ex Timor-Timur yang brutal, kriminal, pemalas dan hal-hal negatif lainnya. Stigma ini yang membuat warga exTim-Tim pun kecewa dengan semua perjuangan yang telah di korbankan. Bagaimana sebenarnya kebrutalan itu adalah wujud pembelaan merah putih. Sebuah perjuangan darah yang dicap sebagai kriminalitas tentu membuat patah semangat namun pejuang tidak mengenal lelah. Stigma ini juga menjadi luka tak berdarah yang harus kami tanggung di disini. Hal itu bagi kami yang berjuang membela merah putih, entah dengan apa harus kami ceritakan perjuagan darah yang telah lalu, jika bukan dengan selembar kertas dan pena? Sudah terlalu banyak asa dan rasa yang di alami, sudah banyak sejarah dan cerita yang terukir disini, di Indonesia. Status pengungsi sudah dihilangkan oleh pemerintah tetapi kehidupan kami, tempat tinggal kami masih ada dalam camp-camp yang dibangun sejak kedatangan kami di sini. Bukan hanya di wilayah Kupang, camp Naibonat, Noelbaki dan Tuapukan tetapi di berbagai daerah di NTT bahkan Indonesia tersebar luas para pengungsi. Keadaan mereka tidak jauh berbeda seperti kami. Tidak ada tanah untuk berkebun, lantas kami disalahkan dengan stigma pemalas dari warga lokal. Kami protes diberi stigma kasar, suka ribut dan sebagainya. Negara sangat tahu betul keadaan kamu tetapi mendiamkan keadaan ini dalam waktu yang sudah cukup lama.
Kami tidak bisa menyerah. Jika tidak berjuang kami akan mati walaupun harapan yang tak kunjung sampai perjuangan yang tak kenal lelah diiringi derita berderai air mata yang masih kami rasakan sampai saat ini. Pengungsi juga seakan terbagi-bagi dalam bergerakan. Ada gerakan orang tua, ada juga gerakan anak muda. Ada gerakan mereka yang pro pemerintah dan memilih diam atau yang mereka sebut dengan damai tetapi ada juga gerekan dari mereka yang mengkritisi pemerintah atau negara karena status mereka yang belum jelas sampai sekarang. Gerakan orang muda itu adalah kami yang berjuang untuk mewujudkan sebuah keadilan yang pantas bagi masyarakat. Namun apalah daya sekelompok pemuda yang bermodalkan tekad dan juang dengan harapan bahwa keadilan itu terwujud namun selalu di tindas dan di beri harapan palsu.
Apakah seorang pejuang pantas di asingkan, di kucilkan dan dianak-tirikan di negerinya sendiri? Definisi tentang kehidupan yang kami alami saat ini memberi gambaran bahwa penindas masih di pelihara dan negara menjamin impunitas kepada para pelaku pelanggaran HAM sampai saat ini.
Sudah 22 tahun lamanya hidup dalam ketidakpastian tanah tempat tinggal, fasilitas kesehatan yang kurang dan pendidikan yang masih sulit untuk di capai. Kami hanya dipelihara dalam harapan-harapan palsu semata sembari berjuang merajut asa dan menanti sebuah pengakuan bahwa permasalahan ex Tim-tim masih ada, keadilan belum kami dapat, kesejahteraan masih jauh dari pandangan.
Dimanakah HAM yang ditegakkan di negeri ini bagi para pejuang yang masih dibalut harapan palsu dan ditindas?
Kami sadar dan bangga untuk mengakui, berjuang dan berkorban untuk negeri ini walaupun kami belum mendapat keadilan dan pengakuan. Pihak- pihak tertentu menjadikan permasalahan ini menjadi batu sandungan untuk kepentingan individu dan kelompoknya sendiri, tanpa peduli dengan derita yang masyarakat alami.
Perjuangan itu yang sedang diperjuangkan para pemuda pemudi yang ingin masa depan dan negerinya tidak memelihara penindas dan mewujudkan sebuah keadilan jiwa- jiwa muda yang mampu belajar HAM tetap terpelihara. Dengan lingkar belajar ini pemuda-pemudi yang memiliki persoalan dan permasalahan yang sama mendapat semangat perjuangan agar tetap semangat menjadi pembela HAM. Biar ketidakadilan itu jangan sampai pada anak cucu kami lagi.
Program ini juga menjadi jalan dan wadah bagi pemuda pemudi di dua negara ini untuk mengikat perdamaian, sekilas mengingat masa lalu yang telah lama terjadi, agar pemuda pemudi lebih mengenal dan belajar prinsip tentang HAM.