Di Kerumunan Ini Kita Bertemu
di kerumunan ini kita bertemu
Tiada mereka yang menetak punggungmu
Tiada bagi ia yang memecah hening dalam sekali tinju
padamu yang menanti
“Hari ini telah selesai, namun kehilangannya belum usai.”
di barisan ini, kita daging menggelantung pada pagar beduri
Hatimukah yang merah bara itu
Kepalakukah yang hangus abu itu
Lalat hijau beranak-pinak membuat benteng terkuat
Coro punya pistol dan peluru.
Mereka terbang merayapi pundak kita,
“Kamilah dentum kepatuhan paling agung.”
di depan gedung ini, aku sampah kau limbah
Kita tak lebih dari apa yang menggelegak dalam
keruh lambung Pembangunan
Oleh mereka yang menyebut kita sebagai pecundang
Semisal para pensiunan digebuk tagihan
Seperti nenek-kakek bersemayam di bawah mesin tambang
di jalan rusak ini, kita pedagang keroncongan,
yang muntah di tanjakan; yang bertanya pada pagi menggigil;
tak terjawab di malam-malam ganjil.
“Sekubit puyer sekantung infus, akankah tertebus
oleh sirih dan dedak yang ada padaku?”
di taman ini, kau katakan kepercayaanmu kepada negara
seperti padi tiada isi seperti pemetik kakao masuk bui
“Telah kuserahkan segenap cahayaku kepadanya.
Namun kemilaunya kini betapa serakah.”
Masihkah seseorang yang mencintai tanah air
dicap mengingkari tumpah darah
Menanti hati yang merah bara
Menyambut abu jadi tinta,
Hatimukah yang merah bara itu
Kepalakukah yang hangus abu itu
Ya! Di kerumunan ini kita bertemu!
Menanti seratus tahun kepergian
Menyambut bermilyar abad perlawanan
Agung, Surabaya 2021
Puisi ini didedikasikan kepada siapa saja yang meliputi seratus tahun kepergian, juga bagi yang menyambut bermilyar abad perlawanan.