Gamya & Griet; Jalan Pulang
Kisah ini menceritakan tentang pemuda berdarah Jawa yang merupakan lulusan mahasiswa di Yogyakarta—Gamya, namanya. Pemuda yang memiliki watak keras kepala ini merupakan aktivis muda yang kabarnya hilang tanpa jejak. Setahun setelahnya, Gamya diduga menjadi korban penculikan seperti aktivis-aktivis lainnya.
Kisah ini tak hanya memuat tentang sepenggal kenangan masa kelam ‘penghilangan paksa’ seperti biasanya. Sebab di kilasan tahun 1997-1998 ini, Gamya memiliki kekasih—Griet, namanya—gadis blasteran Belanda yang berusaha menguak hilangnya Gamya.
Karena kasus Gamya masih belum diusut tuntas, Griet akhirnya memperjuangkan keadilan hilangnya Gamya yang sampai saat ini belum diketahui. Dan dalam mencari keadilan, Griet berhadapan dengan Ayahnya yang ternyata salah satu pelaku dari penculikan Gamya.
***
Yogyakarta, 1997.
Pemuda berusia 24 tahun itu kini menatap sendu ke arah gadis berdarah londo yang merupakan kekasihnya. Di Pantai Sepanjang, Yogyakarta, keduanya sama-sama terdiam, membiarkan suara benturan deburan ombak dan sayup sapuan angin memecah kesunyian.
Semburat jingga yang menggantung di angkasa semakin kentara, gadis dengan gaun khas tahun 80an itu hendak beranjak pergi menjauhi pantai mengingat semua kalimat berupa saran dengan embel-embel demi keselamatan kekasihnya itu dihiraukan begitu saja.
Melihat raut kemarahan sekaligus kecewa kekasihnya, pemuda itu menahan langkahnya sembari menarik napas panjang berusaha menenangkan ketakutan kekasihnya. “Griet, aku cuma minta keadilan dan demokrasi. Bukan salahku kalau orang kecil sepertiku bisa menentang orang besar seperti mereka. Aku punya hak untuk bersuara, dan kamu juga.”
“Gamya, kamu tahu kesalahan terbesar yang sudah kamu lakukan selain membuat aku khawatir seharian?” tanya Griet—gadis dengan bola mata amber yang menyala-nyala berkat pantulan cakrawala itu menatap lekat Gamya. “Kamu hanya akan melakukan pekerjaan yang sia-sia, kamu tidak akan mendapatkan apa-apa selain penyesalan. Apa yang kamu lakukan itu berbahaya, dunia ini kejam untuk orang-orang seperti kamu yang serba ingin tahu.”
Gamya terdiam cukup lama, sejak pertama kali Gamya memulainya, ia memang sudah menyadari apa risiko terbesarnya setelah menuliskan kritikan-kritikannya yang lebih condong memberontak. Sejujurnya, Gamya tidak pernah merasa takut pada apapun yang ia anggap benar. Tapi saat ini, ia mulai bimbang, ia melupakan tentang orang-orang yang ia sayang.
Jika nanti Gamya tewas—menjadi kroban selanjutnya penghilangan paksa seperti aktivis-aktivis lainnya beberapa hari lalu, sejak dulu Gamya memang tidak pernah berpikir bagaimana kesedihan Griet dan keluarganya nanti setelah ia tiada, karena satu-satunya saat ini yang terpenting bagi Gamya hanyalah keyakinannya tentang apa yang ia anggap benar.
“Kamu masih kurang puas dengan artikel-artikel wajah teman-temanmu yang terpampang dan dibubuhkan kalimat ‘kembalikan mereka’ tersebar luas di masyarakat?” tanya Griet lagi dengan emosi yang meledak-ledak. “Atau kamu ingin jadi salah satu di antara mereka, ditangisi banyak orang dan dianggap pahlawan bagi semua orang?!” lanjut Griet setengah berteriak.
Gamya menarik napas panjang, pemuda yang sudah meluluskan bangku kuliahnya di bidang sejarah itu menggeleng pelan.
“Griet, aku melakukannya karena peduli, aku bukan ingin dipandang hebat apalagi jika nanti tiadaku harus ditangisi. Maaf kalau kamu kecewa, tapi aku tidak akan berniat berhenti, aku akan memperbaiki.”
Bagi Gamya, apa yang sudah ia kerjakan dari awal dengan sungguh-sungguh, ia bersumpah tidak akan merubah apapun pada akhirnya. Lagipula berhenti di tengah-tengah itu jauh lebih gila, lebih baik ia disiksa sampai tiada. Setidaknya itu jauh lebih bermartabat dari kelihatannya.
Sementara Griet sudah terlihat kehabisan kata-kata, ia menatap jengkel Gamya yang biasanya memang keras kepala, sama sepertinya. “Aku benci mengatakan ini, tapi kalau kamu tidak bisa mengerti, sebaiknya hubungan kita diakhiri saja sampai sini,” ancam Griet dengan napas yang memburu.
Gadis itu tidak menyangka, sederet kalimat yang semula ia tahan untuk tidak keluar, pada akhirnya ia mengucapkannya sebagai ancaman agar Gamya mau menurutinya. Namun, siapa sangka bahwa ancamannya akan berimbas kepada dirinya sendiri. Ibarat sebuah boomerang yang pada akhirnya hanya membuat Griet menyesal keesokan hari.
“Terserah kamu saja, kalau kamu mau kita berakhir ya sebaiknya akhiri saja. Itu kemauan kamu, aku tidak bisa memaksa kalau kamu memang ingin.”
Penuturan Gamya berhasil menjelma ribuan anak panah yang menancap tepat di rongga dada Griet penuh siksa. Gadis itu menatap Gamya tak percaya, pemuda yang sudah tiga tahun ini ia kenal ternyata lebih memilih kegiatannya yang sudah ia anggap benar dibandingkan dirinya.
Sejak awal, seharusnya Griet tidak benar-benar harus mengatakannya, ia tahu watak keras kepala Gamya, dan kalimatnya tadi hanya akan membuat mereka tidak baik-baik saja.
Gamya menatap Griet beberapa detik sebelum akhirnya pemuda itu menyeret kakinya pergi menjauhi bibir pantai. Pemuda berkulit sawo matang itu semakin menjauh dari pandangan matanya, Griet kini hanya bisa terdiam di tempat sembari menatap punggung Gamya yang perlahan menghilang tertelan jarak dengan tatapan nanar penuh sesal.
Gamya, bukan ini yang aku inginkan.
***
Gamya merogoh ke saku bajunya untuk mengeluarkan uang recehan dari sana lalu memberikannya kepada salah satu dari sekian banyak bocah laki-laki dengan pakaian kumal dan aroma tak sedap di pinggir jalan. Mikrolet yang Gamya tumpangi sudah berhenti sedari tadi, membawa Gamya ke sebuah desa yang sudah Gamya kenali.
Pemuda itu berpikir sejenak begitu kaki panjangnya sudah melangkah menuju desa. Gamya bukan berpikir tentang Griet yang baru saja mengakhiri hubungannya di saat pemuda itu masih sangat cinta, tetapi ia memikirkan tentang sisa uang receh di sakunya, jadi ia berniat menghamburkannya dulu untuk beberapa anak kecil yang berdatangan ke arahnya—menyambutnya seperti biasa.
Setelah selesai membagi-bagikan uang recehan, seorang anak laki-laki yang terlihat paling besar di antara mereka menghampiri Gamya. “Mas, tadi aku sudah lancar baca iqro di langgar. Lalu hadiah yang Mas janjikan bagaimana?” tanyanya penuh harap.
Dahi Gamya seketika mengernyit, tapi di detik selanjutnya ia sudah mengangguk-angguk mengerti dengan pertanyaan anak laki-laki itu. “Oh, ya sudah kamu bilang saja mau apa,” jawab Gamya.
“Aku ingin punya istana besar, mobil banyak, lalu wajah tampan kayak Robert Wagner, Mas!” balas anak laki-laki itu bersemangat.
Mendengar jawaban anak itu, Gamya seketika terkekeh pelan. “Banyak mau kamu, Din. Tapi ya sudah karena itu keinginan kamu, Mas tidak bisa menolak,” tukas Gamya yang semakin membuat Didin menatap Gamya penuh harap.
Namun, Didin mengerut bingung melihat Gamya tak banyak melakukan sesuatu untuk mengabulkan keinginannya. Didin lantas bertanya. “Lalu mana hadiahnya, Mas?” tanya Dindin tak sabaran.
“Tenang saja, sudah di catat sama yang di atas, berdoa saja yang banyak supaya nanti di surga harapan kamu dikabulkan.”
Gamya mengusap kepala kecoklatan Didin sebab panas matahari yang berjam-jam menyengat kulit kepalanya. “Ya, kalau gitu sama saja menipu, Mas!” gerutu Dindin kesal.
“Lalu kamu maunya bagaimana? Saya bukan dukun yang bisa bikin kamu kaya dengan cara instan, saya juga bukan dokter bedah yang bisa merubah fisik kamu jadi sempurna,” tutur Gamya yang masih saja disoraki Dindin dan teman-temannya. “Mas bukan mengelak, tapi coba kalian lebih sedikit menerima apa yang kalian punya daripada mengeluhkan apa yang ingin kalian punya.”
Gamya sendiri bukan manusia yang taat kepada agamanya, ia tidak begitu fasih membaca al-qur’an, atau bahkan salatnya masih tidak sempurna. Bacaan doanya juga masih terbata. Tapi ia memiliki alasan yang kuat ketika menyuruh anak-anak desa itu mengaji, mereka akan sedikit melupakan kesah mereka tentang kalimat ‘seandainya’ yang tak ada habisnya.
Gamya menyudahi obrolannya ketika samar-samar seorang pemuda yang usianya lebih tua dua tahun darinya itu melambaikan tangan ke arahnya. Gamya kemudian pamit kepada anak-anak jalanan itu dan menghampiri Jaka—tetangganya.
“Tadi ada orang yang mencari kamu di rumah, Ibumu menyuruh saya cari kamu secepatnya,” tutur pemuda dengan peci hitam di kepalanya. “Ayo sembunyi, kamu sepertinya sedang diburon sama mereka,” lanjut Jaka seraya menarik kerah Gamya mengajaknya buru-buru pergi.
Alih-alih menuruti, Gamya menahan langkah Jaka dengan alis tebalnya yang naik sebelah. “Kamu takut sama mereka, Jak?” tanya Gamya dengan nada meremehkan.
“Gendheng, ya takutlah, mereka bawa banyak senjata!” jawab Jaka gusar.
Gamya kemudian terkekeh mengejek. “Memangnya kenapa kalau mereka bawa banyak senjata?” tanya Gamya lagi. “Kamu tahu berapa banyak senjata yang digunakan penjajah untuk membuat bangsa tercinta kita ini menderita? Dan saat ini kita bisa merdeka, Jak. Bukan tentang seberapa canggih senjata yang digunakan, tapi seberapa besar rasa nasionalis dan persatuan.”
“Bodoh, kamu bisa mati sekali ‘dor’, Gamya!” jawab Jaka menggeram kesal. “Lagipula ini bukan jaman penjajahan! Ini masalah negara kita! Dan tolong berhenti ceramah tentang nasionalis dan persatuan!”
Gamya terkekeh kecil. “Tapi bagus dong aku mati muda, mumpung dosaku masih tidak sebanyak Bapakmu,” jawab Gamya santai.
“Sialan kamu, mentang-mentang kamu sudah tidak punya Bapak. Tapi ya sudah kalau kamu tidak mau, saya pergi saja,” tukas Jaka geram kemudian pergi setelah mengucapkan salam meninggalkan Gamya.
Gamya sendiri kini merasakan bulu kuduknya meremang, sejujurnya ia memang takut akan bernasib tragis sama seperti teman-temannya, tapi ia berusaha mengendalikan rasa takutnya mengingat apa yang ia mulai tidak boleh berhenti ditengah jalan. Hanya ada satu jalan sekarang, mengakhiri apa yang ia mulai entah bagaimana akhirnya.
Pemuda itu kemudian mengurungkan niatnya untuk pulang, ia menyeret langkah panjang mencari mikrolet lagi untuk pergi sejauh mungkin dari desa jika ia ingin Ibu dan satu orang adik perempuannya di rumah baik-baik saja.
Gamya tidak pernah menyangka sebelumnya, bahwa tepat di satu langkah ia bergerak keluar dari desa, sebuah todongan senjata api sudah menempel tepat di tengkuknya.
Pemuda itu menahan napas sejenak menyadari nasibnya tidak akan jauh berbeda dengan teman-temannya. Gamya menunduk, memejamkan matanya yang mulai basah. Orang-orang berseragam itu menutup kedua matanya paksa dengan kain hitam lalu mendorongnya kasar untuk tetap berjalan.
Diam-diam Gamya meyakinkan dirinya sendiri bahwa air matanya ini bukan tentang ketakutan akan kematian. Hanya saja, Gamya tidak bisa membayangkan bagaimana nanti Ibu dan adiknya bisa menerima kematiannya.
Ada beberapa ketakutan yang pernah kurasakan selain kematian, salah satunya adalah kematianku yang tidak akan merubah apa-apa setelahnya.
***
“Dia baru saja lulus tapi sikapnya seolah-olah sudah pintar macam ilmuwan saja!”
Griet menoleh menatap Ayahnya yang kini tengah mengusap senjata api di ruang tengah. Ayahnya itu memang kerapkali tidak setuju mendengar Griet masih berhubungan dekat dengan Gamya.
Sementara Ibunya yang memiliki darah kental dari Belanda itu mengulum senyuman kecil. “Tidak apa-apa kalau Griet suka dengan Gamya, bukan sesuatu yang berdosa juga.”
Griet ikut tersenyum mendengar penuturan Ibunya, tapi senyuman itu tak bertahan lama menyadari hubungannya dengan Gamya telah berakhir berkat kebodohannya. “Hubunganku dan Gamya sudah berakhir, Bu.”
Seketika Ayahnya menatap Griet dengan tatapan berang. “Anak itu menyakitimu?!” Suara Ayahnya itu menggema memenuhi ruangan, sementara Ibunya sudah cekatan mengelus pundak Ayahnya menenangkan.
Ayahnya adalah seorang anggota tentara yang memiliki pangkat tinggi, watak tegas dan tak terbantahkan Ayahnya sudah melekat menjadi karakter yang begitu kuat. Tak jarang Griet sering bertengkar dengan Ayahnya karena pendapat mereka yang tak sama. Bahkan Griet mengakui terang-terangan kalau lebih baik Ayahnya tidak di rumah dan pergi jauh bertugas daripada setiap hari harus adu mulut dengannya.
“Aku yang mengakhirinya, bukan Gamya,” terang Griet mencoba menjelaskan, membuat Ayahnya kini menarik napas lega dan tersenyum kecil.
“Itu tandanya kamu mulai sadar, laki-laki berandal seperti Gamya itu hanya ingin cari perhatian,” sungut Ayahnya kemudian meletakkan senjatanya di meja dan beranjak pergi.
Griet merengut mendengar ucapan tak masuk akal Ayahnya. Padahal di dalam hatinya, ia benar-benar menyesal sudah berbicara tanpa berpikir dua kali kepada Gamya. Seharusnya Griet tahu bahwa mengancam Gamya di saat laki-laki itu sedang kalut akan pilihannya tidak akan berbuah baik.
Maka besok Griet berniat akan pergi ke rumah Gamya untuk membicarakannya.
***
Tepat jam tujuh pagi, Griet sudah berada di depan desa Gamya. Pemuda berdarah jawa itu mungkin masih kesal dengan ucapannya kemarin, untung gadis itu punya cara untuk meluluhkan hati Gamya nantinya. Pertama dengan roti lapis buatannya yang merupakan favorit Gamya, dan kedua Griet akan berjanji kepada Gamya bahwa dirinya tidak akan melarang apalagi menahan Gamya untuk melakukan apa yang ingin pemuda itu lakukan.
Griet menatap jendela halaman depan Gamya yang tertutup rapat tak biasanya. Ia pernah datang ke sini, dan ini sudah ketiga kali. Griet juga tahu kebiasaan Gamya dengan anak-anak desa di sini yang sering membagi-bagikan sisa uang receh di kantungnya. Bukan Gamya yang dengan sengaja membagikan kebiasaannya itu kepadanya, tapi Griet pernah mendapat pengakuan dari anak-anak desa sini ketika ia berkunjung.
Griet semakin mencengkram kotak makannya dengan perasaan berdebar, ia bimbang apakah harus masuk segera dan membicarakan tujuannya ke sini tanpa basa-basi atau malah sebaliknya.
Kebingungan Griet buyar ketika gadis itu tiba-tiba dikejutkan oleh suara remaja perempuan yang cukup ia kenal karena renaja itu adalah adik perempuan Gamya yang sepertinya baru saja membeli nasi bungkus di warung.
“Lho, Mbak, kok tidak masuk saja?” Rumi buru-buru membuka pintu rumahnya lebar-lebar, mempersilahkan Griet masuk di ruang tamu yang hanya berisi beberapa kursi kayu yang terbuat dari kayu jati dan meja kecil persegi panjang di depannya.
“Kok tidak sekolah, Rum?” tanya Griet heran ketika melihat Rumi malah sibuk mengambil sapu dan membersihkan sekitar ruang tamu agar Griet merasa nyaman.
Rumi menoleh, tatapan beningnya seolah ingin menangis pertanda ia tak baik-baik saja. Menyadari itu, Griet langsung menghampiri Rumi dan mengelus punggungnya beberapa kali. “Rumi, kamu ada masalah di sekolah?” tanya Griet khawatir.
Rumi menggeleng pelan. “Mas Gamya…” Suara Rumi sumbang, Griet kini merasa khawatir dengan Gamya.
“Gamya kenapa?” tanya Griet berusaha senormal mungkin berusaha untuk tenang.
Napas Rumi memburu, gadis itu menangis sesenggukan. Pertanyaan Griet itu akhirnya dijawab oleh Johanna—wanita paruh baya yang baru muncul dari gorden pembatas ruang tengah. “Gamya hilang, belum pulang dari semalam. Terakhir kali ketika dia pamit pergi ke pantai untuk menemuimu,” jelas Johanna yang membuat Griet lemas seketika.
Dan bagian sedihnya, Griet melihat tatapan kecewa sekaligus amarah dari Johanna yang tertuju kepadanya. Begitu kentara, sampai Griet merasa sesak dibuatnya. “Gamya belum pulang dari semalam?” ulang Griet dengan bibirnya yang gemetar.
“Kamu, ‘kan?!” tuding Johanna tiba-tiba setengah membentak. “Bapakmu yang menangkap anakku, Bapakmu itu kerja apa sih? Kenapa tangkap-tangkap anakku? Memangnya salah apa?”
Rumi menahan badan Johanna agar seimbang, wanita berumur senja itu menatap penuh amarah ke arah Griet yang semakin berkecamuk. “Ayah saya tidak melakukan apa-apa,” jawab Griet lirih. “Rum, kamu percaya, ‘kan?” tanya Griet yang kini mengalihkan perhatiannya pada Rumi.
Perempuan beusia lima belas tahun itu hanya menarik napas sesaat sebelum akhirnya membuka suara. “Aku percaya sama Mbak Griet, tapi aku tidak percaya sama Ayahnya Mbak Griet, maaf,” jawab Rumi menuturkan.
Griet terlihat terpukul mendengar jawaban Rumi. Walau Griet sendiri tidak begitu percaya dengan Ayahnya, tapi menenangkan Rumi dan Johanna adalah opsi baik agar suasana kembali tenang. “Rum, tolong beri Mbak waktu untuk mencari tahu,” ujar Griet dengan suara bergetarnya.
Namun, Johanna sudah memilih masuk ke dalam rumah disusul Rumi yang masih menangis mengekori Ibunya. Sebelum pergi, Rumi memang sempat meminta maaf atas sikap Ibunya, Rumi juga mengaku saat ini ia tidak bisa menaruh kepercayaan kepada siapa-siapa.
Griet akhirnya pamit pulang, bukan ke rumah, melainkan tempat di mana ia berharap bisa menemukan Gamya di sana—Pantai Sepanjang.
***
Masih terasa seperti kemarin, kita memperdebatkan segala hal yang menurut kita tak benar.
Masih terasa seperti kemarin, kita bertengkar hebat sebab keras kita yang saling tak mau kalah.
Namun, masih terasa seperti kemarin, kaki-kaki telanjang kita menyusuri bibir pantai, memberi bekas meski pada akhirnya akan terhapus juga sebab debur ombak yang begitu kejam.
Aku menikmati kemarin yang tak begitu mudah, sebab sangat sulit bagi kita untuk melewatinya. Ada banyak amarah, sekaligus cinta yang menjelma tidak apa-apa.
Mungkin sangat naif ketika kita sama-sama terlihat rela memilih sudah, sebab sebagai perempuan yang terlalu sering mengkhawatirkanmu, aku hanya ingin kamu mengalah.
— Catatan Griet, 1998 di Yogyakarta.
Sudah satu tahun, namun Griet masih hidup dalam hampa yang menyiksa. Hampir setiap malam, Griet selalu bermimpi buruk tentang ketakutan-ketakutannya selama ini ketika ia tahu Gamya mungkin akan bernasib sama seperti teman-teman kuliahnya.
Dan benar saja, baru kemarin Gamya akhirnya dinyatakan diculik seperti aktivis dan mahasiswa lainnya yang dianggap mengganggu jalannya negara. Hingga sampai saat ini, keberadaan Gamya masih abu-abu, tak ada satupun yang tahu.
Griet semakin frustasi ketika tahu Rumi dan Johanna memutuskan pindah dari desa tanpa memberitahu Griet, hal itulah yang membuat Griet setiap hari dihantui oleh perasaan bersalah. Gadis itu sudah memaksa Ayahnya untuk terus terang apa yang terjadi dengan Gamya, tapi Ayahnya bersikeras hilangnya Gamya tidak ada sangkutpaut dengannya.
Selain itu, Griet juga sudah berbicara mencari informasi kepada Jaka yang kata anak-anak desa merupakan orang terakhir kali yang bertemu dengan Gamya sebelum laki-laki itu kemudian hilang bagai ditelan bumi.
Tapi, jawaban Jaka sama-sama tak membuahkan hasil. Meminta polisi untuk mengurusnya juga benar-benar tidak ada gunanya, pasalnya kejadian ini bukan pertama kali terjadi, sudah banyak korban-korban para mahasiswa yang dibantai karena kritikannya, apalagi menjelang pemilihan presiden.
Griet juga sudah mulai lelah menyebarkan berita tentang Gamya yang tidak pernah membuahkan hasil sama sekali. Griet mengaku bahwa ia memang sudah sangat putus asa.
Ia ingin melupakan semuanya, tentang Gamya dan juga segala cintanya. Namun ternyata tidak semudah seperti kelihatannya. Sebab setiapkali Griet berusaha melupakan Gamya, bayangan pemuda itu semakin terasa sangat nyata berlarian di kepalanya.
Hampir setiap hari, Griet mengunjungi pantai Sepanjang, berharap suatu hari Gamya akan datang kepadanya sambil menyuguhkan sebuah pelukan. Sebab hanya di sana, Griet merasa pelukan Gamya adalah satu-satunya tempat ia pulang. Namun hampir setiapkali matahari tenggelam, atau ketika goresan merah dan oranye yang menyembur di angkasa mulai terlihat, Gamya sama sekali tidak pernah datang seperti harapannya.
Gamya, kamu kemana?
Jika pemuda itu memang benar sudah tiada seperti apa kata orang-orang di desa dan orang tuanya, seharusnya mayatnya sudah ditemukan tanpa harus membuatnya menunggu setahun berlalu seperti ini.
Griet menatap nanar gulungan ombak pantai yang seolah ingin menghampirinya. Kaki-kaki telanjang Griet kemudian semakin mendekat ke arah bibir pantai. Griet menikmati setiap kali sapuan air pantai menyentuh kulit kakinya, terasa dingin. Ditambah lagi dengan angin sore yang sudah menjelang malam, terasa menusuk tulangnya begitu kejam.
“Griet.” Suara Ayahnya terdengar lirih, namun Griet masih enggan beranjak atau bahkan hanya menoleh ke arah Ayahnya yang kini sudah berjalan menghampirinya. Itu karena Griet tahu, kehadiran Ayahnya di sini hanya untuk menyuruhnya pulang. “Mau sampai kapan kamu menunggu dan mencaritahu?”
“Bahkan sampai aku kehilangan kakiku untuk melangkah mencari jejak Gamya, atau ketika aku kehilangan mataku untuk menemukan Gamya, aku akan tetap menunggunya,” jawab Griet yakin.
“Griet, kamu tahu Gamya dan teman-temannya memang bersalah, mereka pantas dihukum. Hanya karena kamu menyayangi seseorang, kamu tidak berhak membenarkan suatu kesalahan yang sudah dilakukan.”
Griet mengepalkan tangan kuat-kuat, ia memutar badannya menatap Ayahnya. “Kesalahan apa? Manusia berhak bersuara! Gamya berhak menyampaikan apa yang dia anggap benar dan bersikap apa yang dia suka!” balas Griet dengan tatapan marah.
“Memang bebas, tapi jangan lupa tata krama. Dia orang Jawa, harusnya dia lebih tahu tentang mengulas tutur kata yang bisa digunakan saat berbicara,” jelas Ayahnya.
“Kalau Gamya pakai bahasa halus untuk mengkritik, apa suaranya akan didengar juga?” tanya Griet yang membuat Ayahnya bungkam seketika. “Seekor singa yang mengaum saja, tidak semua makhluk hidup bisa mendengar suaranya, apalagi ketika singa itu hanya mengeong dengan dalih tata krama.”
Ayahnya itu kini menahan napas sejenak. “Ibumu sedih melihatmu seperti ini, jangan menyia-nyiakan hidupmu dengan menunggu sesuatu yang tidak pasti.”
“Gamya pasti kembali, selama aku belum mengetahui keadaannya, aku pasti terus menunggunya,” tukas Griet yakin.
Ayahnya kemudian menarik napas panjang, seolah ada beban yang cukup berat di pundaknya. Pria berusia senja itu menatap putrinya sedikit kecewa. “Saya orang tuamu, orang yang membesarkan kamu, dan kalau saya sudah berbuat kesalahan yang mungkin akan melukaimu, apa kamu mau memaafkan saya?”
Griet tercengang tidak mengerti, tapi ia tahu sesuatu yang akan dikatakan Ayahnya bukanlah pertanda baik. “Seorang Ayah tidak mungkin melukai anaknya, jadi kalau Ayah melukaiku, aku akan berpikir dua kali untuk memaafkan Ayah,” jawab Griet jujur.
“Dengar, Gamya sudah tiada, bahkan sejak satu tahun yang lalu. Berhenti menunggu, karena kamu akan kecewa, Gamya diculik dan langsung dihabisi di hari itu, dia tidak akan kembali di sini,” tutur Ayahnya dengan suara bak beludru, berusaha menenangkan Griet yang sekarang sudah berkaca-kaca.
Griet merasa lemas seketika mendengar penuturan Ayahnya, dadanya terasa sesak, seperti ada rantai yang mengekang rongga dadanya. Potongan memorinya dengan Gamya nyaris berputar memenuhi isi kepalanya, mulai dari awal pertemuan mereka di Universitas yang sama, dan juga setahun yang lalu ketika Gamya dinyatakan hilang.
“Ayah yang menghabisi Gamya?!” tuding Griet setengah membentak, gadis itu mendorong badan Ayahnya menjauh sekuat tenaga. “Jadi benar kata Bu Johanna, Ayah yang menghabisi Gamya. Waktu itu seharusnya aku tidak membela Ayah di depan Bu Johanna dan Rumi kalau tahu begini!” teriak Griet penuh penekanan.
Ayahnya menggeleng mencoba menjelaskan. “Seperti Gamya, Ayah hanya melakukan apa yang Ayah anggap benar untuk dilakukan. Mereka itu hanya orang-orang pengangguran yang ingin cari perhatian.”
“Dan seperti Ayah, hanya karena aku menyayangi Ayah, aku tidak berhak membenarkan kesalahan Ayah yang sudah Ayah lakukan,” balas Griet seraya menyeka air matanya kasar. “Aku akan kasih tahu ke warga kalau Ayah pelakunya.”
Gadis itu berlari sejauh mungkin dari pantai, hari ini ia tidak akan pulang, ia akan datang ke kantor polisi dan menceritakan semuanya. Persetan dengan Ayahnya, Griet hanya ingin keadilan berlaku di sini, tanpa memandang status seorang Ayah dan putrinya sendiri.
Gamya, di manapun kamu berada, semoga kamu masih ada.
***
Griet menahan napas ketika beberapa polisi membawa Ayahnya pergi, Ayahnya diangkut naik ke sebuah mobil truk setelah kesaksiannya beberapa jam lalu. Griet tidak peduli lagi bagaimana tatapan tetangga-tetangganya yang seolah hendak menghakiminya, juga tatapan Ibunya yang sekarang terlihat kecewa kepadanya.
“Kamu lebih memilih Gamya daripada Ayahmu sendiri?! Anak macam apa kamu?!” bentak Ibunya setelah menyeret Griet masuk ke dalam rumah.
“Aku hanya ingin mencari keadilan untuk Gamya, bukan hanya Gamya saja, tapi juga beberapa korban penculikan lainnya,” jawab Griet berusaha menjelaskan.
“Kamu tahu Ayahmu bukan penjahat! Kalau Ayahmu penjahat, kamu mungkin sudah dibuang ke panti asuhan! Kalau Ayahmu penjahat, kamu mungkin tidak bisa hidup seperti sekarang!”
“Dan kalau Ayah bukan penjahat, Ibu tidak perlu sekhawatir ini. Sekarang Ibu justru terlihat ketakutan, kenapa begitu kalau Ibu memang percaya Ayah bukan penjahat?” tanya Griet membalas.
“Durhaka kamu!” Sebuah tamparan melayang keras di pipi Griet, gadis itu agak terhuyung ke samping setelah kemudian berhasil menjaga keseimbangan tubuhnya. “Siapa yang membesarkan kamu kalau bukan Ayahmu?!”
Tidak hanya pipinya yang terasa panas, tapi juga hatinya. Griet tidak tahu mengapa orang sebijak Ibu bisa terlihat bodoh hanya karena membela suaminya sendiri daripada kebenarannya. “Selalu ada tempat untuk orang yang sudah melakukan penghilangan paksa kepada orang lain, Bu.”
Griet menyeret kakinya menuju pintu kayu jati yang merupakan pintu kamarnya. Gadis itu menangis sesenggukan, ia meraih selembar foto di balik pigura milik Ayahnya yang semula ia pajang di dinding kamarnya.
Griet tidak pernah membenci Ayahnya bahkan ketika ia tahu Ayahnya sama sekali tidak menginginkan hubungannya dengan Gamya. Tapi, untuk sekarang Griet tidak bisa untuk tidak membenci Ayahnya setelah tahu apa yang sudah Ayah lakukan.
Terus terang, Ayahnya memang sangat menyayanginya, dan Griet tahu itu. Setahun ini setelah Gamya dinyatakan hilang, Ayahnya yang paling khawatir saat tengah malam ia kembali berteriak dan menangis histeris sambil menyebut nama Gamya ketakutan.
Ayahnya pula, yang kerapkali menghiburnya untuk membantunya melupakan Gamya, meski pada akhirnya sia-sia juga.
Griet mengusap pigura Ayahnya dengan air mata yang mengalir deras. Ia bersumpah, bukan niatnya untuk durhaka, bahkan Griet menyayangi Ayahnya lebih dari nyawanya.
***
Tidak ada yang paling menyakitkan bagi Griet selain harus menjadi saksi pidana Ayahnya dan beberapa rekan-rekannya sendiri hari ini. Di luar gedung, beberapa keluarga dan kerabat korban aktivis seperti Gamya turut hadir melontarkan sumpah serapah panjang untuk Ayahnya.
Sebuah kalimat seperti pisau, yang menancap keras di jantungnya, membuat dirinya sesak dan ingin menghilang begitu saja. Griet menatap sayu ke arah Ayahnya yang tak jauh darinya, pria itu tak banyak bicara bahkan untuk sekadar mengelak seperti rekan-rekannya. Hingga setelah hukuman penjara dijatuhkan kepada Ayahnya, barulah Ayahnya menghampiri dan memeluknya erat.
“Ayah tidak berniat menyakitimu, Griet. Kamu harus percaya, di dunia ini, satu-satunya laki-laki yang paling mencintaimu adalah Ayah.”
Griet merasa kelopak matanya semakin memberat setelah mendengar penuturan Ayahnya. “Griet juga tidak berniat menyakiti Ayah, maaf sudah membuat Ayah seperti ini, maaf sudah durhaka, maaf…” Griet menangis sesenggukan.
“Jaga Ibumu, jangan membuatnya sedih. Lupakan Gamya, hiduplah bahagia, maaf sudah menghilangkan Gamya.” kata Ayahnya kemudian mencium keningnya lama, sebagai ucapan perpisahan sebelum akhirnya pria senja itu digiring keluar meninggalkan ruangan.
Griet menatap punggung Ayahnya dengan tatapan tak rela, namun ia tahu bahwa apa yang ia lakukan saat ini adalah hal yang benar. Selalu ada tempat untuk orang-orang yang sudah menghabisi paksa nyawa seseorang.
Gadis itu menyeka air matanya yang berkali-kali jatuh, kakinya kemudian mengantarkannya pada jalan pulang yang sudah lama ia kenal—Pantai Sepanjang. Untuk kali ini saja, Griet benar-benar berharap Gamya akan datang kepadanya.
Meski hanya dengan ilusi yang sengaja ia ciptakan sendiri, Griet berharap rasa lelahnya hari ini terbayar sudah dengan sinar cakrawala yang membingkai penuh wajah Gamya di sana.
***
“Aku kesal dengan Rumi, dia lagi-lagi memotong rambutnya. Padahal aku suka melihat rambutnya mulai panjang menjuntai.”
Griet berjalan mendekat ke arah ombak pantai yang semakin berdebur kencang.
“Aku tahu itu perintah agar aku memanjangkan rambutku,” celetuknya waktu itu sembari melemparkan senyum kepada Gamya yang masih sibuk menggoreskan tulisan di atas pasir pantai dengan jarinya.
Saat itu, Gamya tertawa keras. “Aku tidak memaksamu, tubuhmu adalah milikmu, jangan merasa terintimidasi dengan kata-kataku.”
“Meski begitu, rambutku sudah panjang, memangnya kau mau rambutku sepanjang apa?”
“Aku tidak tahu, tapi kalau kamu ingin memotongnya sekalipun, bukan masalah juga untukku. Mereka akan tumbuh, seperti usia.”
Selain menyukai bagaimana Gamya menatapnya, Griet juga menyukai bagaimana pemuda itu mengajaknya bicara. Griet menyukai bagaimana suara rendah Gamya yang selalu terdengar bak beludru di telinganya.
Tapi, di suatu hari, Gamya pernah juga memarahinya kasar ketika ia berniat akan memeluk pemuda itu. Selalu seperti itu, Gamya malah melangkah mundur ketika Griet menatapnya tidak mengerti.
“Aku juga ingin memelukmu, tapi nanti Tuhanku marah dan cemburu,” katanya beralasan.
Kedua mata Griet berair, ada banyak sekali penuturan Gamya yang terdengar merdu di telinganya. Namun Griet tidak benar-benar ingin mengingatnya, karena itu mungkin hanya akan menyakitinya saja.
Griet melepas kuciran rambutnya, kakinya semakin dekat menghampiri ombak, seakan siap menantang. Tidak peduli bagaimana gaunnya yang mulai basah, Griet hanya ingin tahu bagaimana rasanya tiada.
Daripada harus hidup seperti ini, Griet ingin mengakhirinya saja. Terkadang ia merasa benci jika mengingat bahwa mungkin Gamya tidak pernah merasakan perasaan menyiksa seperti ini.
Satu langkah maju yang sudah terlalu jauh, Griet jatuh terpeluk air pantai yang menyelimuti harapnya. Satu hal yang Griet pikirkan saat badannya mulai terasa ringan, bahwa ia tidak bisa berenang.
Namun, alih-alih ketakutan, Griet justru tersenyum lega, setidaknya dengan cara ini, ia akan baik-baik saja. Gadis itu kemudian membuka matanya yang terasa agak perih, sebuah siluet seseorang yang sangat familiar di ingatannya perlahan menghampirinya.
Saat itulah Griet merasa bahwa surga sudah ada di depan matanya. Griet menyodorkan tangannya kala siluet itu berusaha keras untuk menggapainya.
Gamya sudah datang.
***
“Gamya, kamu mau pergi lagi begitu saja?”
“Aku tidak pernah pergi.”
“Lalu satu tahun ini apa?”
“Satu tahun ini, aku hanya hidup menjelma udara yang kamu hirup, tanah yang kamu pijak, langit yang kamu lihat, air yang kamu gunakan minum.”
“Kamu tidak seperti itu!”
“Tapi aku benar-benar tidak pernah pergi darimu.”
Griet yang malang, ia tidak pernah tahu, lagi-lagi ia berteriak menyebut nama Gamya tengah malam sembari menangis ketakutan. Namun kali ini, Griet hanya akan sendiri, tak menemukan keberadaan Ayahnya yang akan menenangkannya.
Tubuhnya menggigil, ia menatap nanar penghangat ruangan yang sudah dinyalakan. Griet membungkus tubuhnya dengan selimut tebal, memikirkan bagaimana Tuhan selalu mengajaknya bercanda.
Seharusnya ia mati, tapi Tuhan justru menyelamatkannya dan ingin menyiksanya lebih lama.
Gadis itu kemudian menatap cermin besar di sudut kamarnya, ia kemudian beranjak menghampirinya. Penampilannya kini tampak berantakan, ada gurat hitam yang membekas kentara di area bawah matanya. Ia seperti bukan Griet.
Tangannya beralih membuka isi lemari, mencari keberadaan gunting yang seingatnya selalu ia simpan di sana.
***
“Kamu potong rambut jadi sependek itu?” tanya Ibunya terkejut melihat Griet keluar dari kamar dengan rambut sebahu yang dipotong asal-asalan. “Kenapa kamu melakukan itu?” lanjut Ibunya setelah menghampiri Griet.
Gadis itu diam sejenak hanya untuk membasahi bibir bawahnya sendiri. “Aku hanya mau buang sial saja,” jawab Griet asal.
Ibunya menatap Griet kecewa, wanita itu menarik napas panjang sembari mengelus punggung putrinya penuh kasih sayang. “Kamu benci Ayah dan Ibumu?”
Griet membulatkan mata refleks, ia tidak pernah membenci kedua orang tuanya bahkan setelah ia tahu faktanya. Bagi Griet, sebesar apapun kesalahan orang tuanya, mereka tetaplah orang yang berpengaruh besar kepadanya dari kecil sampai dewasa.
Rasa kecewa itu memang masih ada, bahkan sampai sekarang juga, tapi daripada disebut benci—itu terlalu jahat kedengarannya.
Griet menggeleng yakin, menenangkan Ibunya. “Aku tidak pernah membenci kalian, semuanya sudah terjadi, aku juga tidak pernah menyesal sudah melakukan apa yang sudah aku anggap benar.”
“Maaf, Griet. Maaf sudah memarahimu,” tutur wanita itu kemudian memeluk Griet erat, sesengukan. “Ibu sendiri tahu, Ayahmu memang bersalah, tapi Ayahmu bukan penjahat.”
“Aku juga tahu itu, Ayah adalah orang yang paling baik di dunia ini bagi kita,” sambut Griet setuju lalu melepas pelukannya.
“Jadi, Griet,” kata Ibu sedikit menjeda kalimatnya, membuat Griet mengernyit penasaran. “Mari pergi ke Belanda, menetap di sana. Nanti saat Ayah kembali, dia akan menyusul kita.”
Kepala Griet rasanya pusing, sejujurnya ia tidak ingin pergi, ia masih ingin di sini sebelum bertemu Gamya entah dalam keadaan tiada atau masih ada. Tapi, Griet tidak tega melihat wajah harap Ibunya. Tentu Ibunya sudah memikirkan rencana ini matang-matang penuh perhitungan.
Melihat reaksi Griet yang tidak segera menjawab, Ibunya melemparkan senyuman yang kembali menenangkan Griet. “Ibu tidak memaksa, tapi cobalah mengerti.”
Griet menarik napas dalam-dalam. “Aku akan coba memikirkannya,” kata Griet kemudian menyeret kakinya ke luar rumah.
Griet duduk di sebuah kursi kayu di depan rumahnya, hari ini mendung, dan bukan berarti besok juga akan mendung. Namun, tidak menjamin juga besok akan cerah seperti biasa.
Segala di dunia ini memang benar rahasia, manusia memiliki rencana di hari-hari berikutnya, namun tak satupun manusia akan tahu apa yang akan terjadi keesokannya.
Griet tidak tahu bagaimana masa depannya ada atau tanpa Gamya, tapi satu hal yang ia tahu, susah atau mudah, pada akhirnya ia akan tetap terus tumbuh dan berjalan.
***
Amsterdam, Belanda, 2008.
Ini sudah hampir tiga jam Griet mengisi acara bukunya yang baru dua tahun lalu ia tulis di sebuah ruangan yang mirip dengan aula. Mulanya, Griet tidak pernah menyangka bahwa perilisan bukunya akan mendapatkan tanggapan yang luar biasa.
Alasannya untuk menulis hanya karena Griet ingin mengisi waktu kosongnya bekerja separuh waktu di sebuah restoran tak jauh dari rumahnya. Dan bukan hal yang mudah juga Griet bisa menyelesaikan bukunya, tentu saja Griet pernah jenuh.
Namun, di masa-masa itu, Griet hanya membutuhkan satu dorongan yang membantunya kembali percaya akan kemampuannya—Ibunya. Wanita itu seolah sudah menjelma wonderwoman in wonderland di kehidupannya.
“Sepuluh tahun yang lalu, Griet memutuskan pergi meninggalkan tanah airnya sendiri. Setelah pasang surut dan jalanan terjal yang ia hadapi, pada akhirnya ia memutuskan pergi untuk memulai sebuah kehidupan baru. Kepergiannya bukan hanya perihal tentang melupakan Gamya, namun juga ia tahu, pastilah ada alasan tertentu Tuhan memberikannya hidup lebih lama daripada Gamya.”
Salah seorang perempuan yang usianya tiga tahun lebih muda dari Griet itu mengangkat tangannya, mencoba bertanya. “Maaf menyela, lalu bagaimana nasib Gamya saat ini?” tanyanya penasaran. “Apa kamu sudah menemukannya?”
“Aku tidak tahu, dia hilang sampai sekarang, entah di mana. Dan mungkin, jika dia masih hidup, aku tidak akan lagi berharap akan bertemu. Tapi lebih dari itu, aku hanya ingin dia membaca bukuku, karena ini tentang kisahku dan kisahnya dalam mencari jalan pulang yang panjang.”
“Lalu bagaimana dengan Ayahmu?”
“Ayahku meninggal sebelum hukumannya selesai,” jawab Griet dengan tatapan bening yang cukup kentara.
“Apa kamu menyesal?”
Griet mengangguk. “Aku sangat menyesal,” jawab Griet membasahi bibir bawahnya yang tiba-tiba terasa kering. “Aku menyesal karena aku tidak dari dulu tahu dan memenjarakan Ayahku. Aku memiliki cinta yang tidak terbatas bahkan sampai sekarang untuk Ayah, karena aku putrinya. Tapi, aku juga memiliki rasa kecewa yang begitu mendalam bahkan sampai sekarang untuk Ayah, karena aku juga manusia.”
Dua jam setelahnya, acara pertemuannya dengan puluhan orang pembaca bukunya selesai. Setelah mengucapkan terima kasih kepada pengisi acara, Griet memutuskan untuk pulang.
Seperti biasa, naik bus.
Griet menjalani hidupnya dengan normal. Meski rasa sesak itu beberapa kali menghampirinya, tapi sudah tidak semenyiksa dulu. Ibunya benar soal waktu dan juga tentang keikhlasan. Tidak peduli seberapa berharganya seseorang, semuanya akan baik-baik saja jika ia bisa ikhlas menjalaninya.
Gadis itu duduk di salah satu kursi bus yang masih kosong, perjalanan ke rumahnya memang lumayan panjang. Maka, Griet memutuskan untuk membuka ponselnya setelah menghidupkan data.
Griet tersenyum membaca pesan dari Ibunya yang selalu memberinya dukungan yang tak akan pernah terbayar sepenuhnya. Namun, jarinya mendadak kelu bahkan hanya untuk membalas pesan dari Ibunya setelah ia membaca sederet pesan Ibunya yang menyebutkan nama Gamya.
Gamya sudah ditemukan.
Griet mencoba menahan air matanya, ia menutup bibirnya rapat-rapat mencoba tidak berteriak saking senangnya. Dengan gerakan gesit, gadis itu mencari artikel di sebuah website online setelah menuliskan nama Gamya di pencarian.
Salah seorang korban penculikan aktivis tahun 1998 Djaka Gamya (17) berhasil di temukan tewas dalam keadaan menggenaskan di sebuah gudang daerah Sumatera. Korban berhasil diidentifikasi dengan ditemukannya beberapa barang milik korban yang berada di saku pakaian korban.
Griet tersenyum lebar, hari ini ia akan terbang secepatnya ke Yogyakarta.
Tunggu aku, Gamya.
Selesai.
***
Tentang Penulis
Namanya Deva Amelia (@devaihsidi), gadis berusia 17 tahun itu mulai menekuni hobi menulisnya sejak kelas 3 SD. Awalnya ia hanya gemar membaca, tapi dunia tulis mulai ia kenal ketika buku bacaannya sudah tak tersisa. Cita-citanya ingin menerbitkan buku sendiri dan bermanfaat untuk orang yang mambacanya … semoga.