Martir Terakhir Seorang Dirijen

Sore yang begitu sejuk, angin supoi-supoi menghantam setiap helai rambutnya. Begitu juga dengan dedaunan yang berjatuhan dari rantingnya. Lonceng mulai berkumandang  untuk meriuhkan suara merdu nyanyian kharismatik gereja kampung. Sedangkan Burung-burung sibuk bergotongroyong mengumpulkan dahan yang telah terkoyak, untuk di jadikan sarang pada generasi yang akan datang.

 

Hari yang elok dan begitu melesuhkannya. Selepas menjadi dirijen di sebuah acara kongres partai. Pekerjaan sehari-harinya adalah menjadi seorang dirijen di sebuah acara-acara yang menghidangkan nyanyian. Biasanya, dia tampil di acara yang di selenggarakan di kota. Semacam peringatan 17 Agustus atau acara-acara partai. Tidak hanya itu, seringkali juga dia menyempatkan waktunya untuk memberikan beberapa pengetahuan yang di dapatkan saat kongres partai, yang dimana sangat banyak orang-orang partai yang memberikan pemahaman pada setiap kadernya. Kesempatan itulah dia pergunakan untuk terus mengajar pada anak-anak petani yang ikut bersama orangtuanya menggarap lahan.

 

Kencreng…kencreng…rasa-rasanya ada yang menghampiriku.

 

“Kasmirah, dari mana kamu ini?”

 

“Menur….Bikin kaget aja”

 

“Aku lepas menghadiri acara kongres partai Menur”

 

“walahhh, koncoku makin berkembang aja nih, udah di panggil kesana kemari”

 

“wess, ini juga berkat dukuganmu koncoku Menur”

 

“sedangkan kamu dari mana Menur?”

 

“aku barusan sedari pasar membeli rempah-rempah untuk kebutuhan rumah”

 

Selepas percakapan itu, mereka terus menerus bercerita kisah-kisah untung mereka akhir-akhir ini. Sembari Menur mendorong ontelnya. Saat itu juga mereka menghabiskan waktu menuju jalan pulang.

 

Menur adalah sahabatnya sedari kecil, mereka satu dusun, hanya saja berjauhan beberapa petak. Menur adalah seorang ibu rumah tangga, telah di hadiri seorang anak yang masih balita dan di dampingi suami seorang tentara. sedangkan Kasmirah hanyalah seorang dirijen dan ditemani suami seorang petani.

 

Matahari mulai terbenam di ufuk barat. Dan mereka masih saja tidak kehabisan kosa kata.

 

“eii, sudah terlaru larut nih konco, wess tak pulang dulu yoo. Mau siapkan santapan malam untuk suami dan  mertuaku”.

 

“wess” begitu juga dengan Menur.

 

Selepas dia membersihkan diri, dia berdandan di depan kaca, sembari menyanyikan lagu-lagu lepas kongres tadi, namun suara yang berbeda, tentunya suaru seperti ayam yang di patok.

 

“mbah! Kasmirah!” dengan suara yang keras dan bersemangat suaminya memanggil Kasmirah dan mbah.

 

“ada apa suamiku?” tanya Kasmirah, sembari mbah juga menghampiri suaminya yang entah tiba-tiba seperti orang kesurupan.

 

“ini, barusan aku dengar di radio nasional. Pemimpin bangsa, besok mau membagikan bibit unggul gratis ke petani pedesaan” ucap suaminya

 

“walahh, wes Iki pemimpin yang begitu mengetahui keresahan rakyatnya.

 

“terus mbah, akan di adakan juga Land Reform dalam tempo sesingkat-singkatnya, yang katanya untuk rakyat, satu rasa sama rata katanya mbah!”

 

“walahh….kejayaan wes kembali. Berangkatlah kalian besok” ucap mbah.

 

“wes mbah, berangkatlah kita besok pagi ya Kasmirah, sekaligus berjalan-jalan di kota, jarang-jarang kita kesana isteriku” ucap suaminya dengan bahagia dan merayu.

 

“iya suamiku tersayang”

 

Di kala pagi itu, mereka lekas menghampiri pusat kota. Dengan ontel simbah yang begitu tua dan karatan mereka tetap melaju dan menelusuri jalan bersama suaminya tercinta.

 

Puing-puing bangunan kota begitu megah, bunyi-bunyian pluit pamongpraja sangat amatlah rohani dengan busananya yang begitu ketat. Orang-orang asing kesana-kemari mengambil gambar, bahkan sempat-sempatnya menggambil gambar mereka dan suaminya. Sampai terheran-heranya mereka melihat kesibukan orang asing tersebut.

 

Di seberang jalan sudah banyak terlihat rakyat berkumpul dan mengambil beberapa karung bibit gratis yang di bagikan oleh petugas. Namun, sesaat mereka telah mengambil bibit gratis, terselip beberapa kertas yang bertulis. “Gayang imprealisme dan neokolonialisme, satu rata sama rata! Dengan wajah pemimpin bangsa sembari berteriak di dalam kertas ini. Tidak hanya itu, di setiap tepi jalan mereka terheran-heran lagi melihat berhamburannya bendera-bendera merah yang tertancap, serta gambar palu dan arit di dalamnya. Kasmirah tiba-tiba merasa mengingat gambar akan sesuatu yang pernah dia hampiri.

 

“oalahh, aku melihatnya sewaktu dipanggil menjadi dirjen di acara kongres partai kemarin”

 

“opo Kasmirah?”

 

“iki mas gambar e, ta lihat sewaktu di panggil jadi dirijen di kongres kemarin”

 

“oalahh, tak kira opo toh”

 

Selepas itu  mereka lekas pulang untuk membuatkan simbah makanan untuk di santap di ladang yang sedang dia garap. Sebelum matahari menunjukkan siang bolongnya. Karena jam itulah Sumaraih sering kali menghidangkan makanan kepadanya.

 

Di belakang rumah, adalah tanah milik mbah, yang di garap bersama dan diuntungkan bersama. Rata-rata juga penghuni dusun ini menerapkan tata cara masyarakat komunal primitif. Ya, itulah penghasilan hidup mereka, selain dia bekerja menjadi dirijen yang tentunya tidak memiliki kapastian panggung dan juga upah yang tidak sebanding dengan para pemilik perusahaan yang kulihat di kota tadi.

 

“mbah, makan dule nggeh”

 

“yoo, wes tak nanggung iki garap e”

 

Kata mbah, dahulu kampung ini adalah satu-satunya kampung yang pernah menolak membayar pajak  kepada pemerintah kolonial Belanda. Bahakan simbah mengatakan, dari penolakan tersebut menyebabkan kematian dari saudara-saudara kandung simbah. Sampai-sampai membuat pemerintah kolonial dibuat pusing dikarenakan pernah terjadi pembangkangan sipil, yang kala itu menolak pembangunan jalan yang di usung pemerintahan kolonial Belanda. Karena kampung ini mempunyai sebuah filosofi hidup yaitu; alam dan makhluk hidup tidak dapat dipisahkan, melainkan wajib dijaga agar menjaga keseimbangan yang telah diberi oleh dewa-dewa dan saling memenuhi, membantu antara sesama suku dan rakyat.

 

Kasmirah lekas kembali dahulu untuk membawa ranting makanan serta teko ke rumah. Sesampainya, radio suaminya ternyata masih berdengung dan lupa mematikannya. Lantas Kasmirah menghampiri radio tersebut. Tiba-tiba radio itu mengabarkan radio nasional! Karena radio nasional adalah berita wajib yang harus di dengar oleh rakyat. Lalu radio itu mengabarkan;“mulai saat ini radio nasional di ambil alih oleh tentara. Malam tadi telah ditemukan jasad beberapa jenderal yang dibunuh. Para tentara dan intelektual memenuhi jalanan di masing-masing penjuru, dan sedang terjadi pembangkangan sipil. Dan tentu saja kematian jenderal revolusioner kita dibunuh oleh PKI. Dikabarkan, beberapa pemimpin komite bersembunyi dan berlindung. Keadaan semakin genting. Untuk sementara waktu tentara mengambil alih pemerintahan dan dihimbau juga kepada seluruh rakyat, bahwa semua kader PKI ditahan, begitu juga dengan petani yang di bagikan bibit gratis oleh pihak pemerintah, serta simpatisan dan pendukung akan dijemput paksa atas peristiwa yang begitu memalukan. Demikian berita hangat ini”

 

Kasmirah tersontak, lekas dia bergegas menuju ke hunian Menur. Dia berlari seperti orang kesetanan. “Menur” “Menur”. Menur tidak mengubris, hanya melihat terseduh di jendela sembari menimang balitanya berkata; “aku tidak bisa berbuat apa-apa” lalu di susul makian suami Menur berkata; “tidak usah lagi datang dan menghampiri Menur, kalian itu antek nya Komunis yang membunuh jenderal revolusioner kita, dasar pemberontak!”. ‘apa salah aku mas?” tanyaku pada suami Menur.“ Wong nama kalian terdaftar di simpatisan Komunis, kalian menari pada orang meninggal, mau merusak bangsa ini. Pergilah sana ambil bibit unggul itu, dasar penjilat asing!” Tersontak Kasmirah mendengar makian tersebut. “aku bersumpah mas demi tuhan, aku tidak melakukan tarian untuk orang meninggal tersebut. Bahkan sama sekali tidak menjadi simpatisan partai”. “walahh, munafik.” suami Menur keluar dari pintunya, sembari menyeret dan memaksa Kasmirah pergi dari halaman rumahnya. “Kalian saja tidak percaya tuhan, ne sumpah-sumpah. kalian ini, wes antek-antek cina dan uni soviet. Mau menjajah kita!”

 

“jancok kau mas” “jancok”.  Sembari dia menangis dan pergi. Kesedihan menerpanya, Menur adalah sahabat terbaiknya, bahkan satu-satunya sahabatnya. Tak sampai hati  merasakan makian yang tadi menyentuh hatinya, seakan-akan memfitnah keluarga yang paling di sayanginya.

 

Di malam yang begitu rindang dengan jeritan jangkrik dan kunang-kunang yang kadang mampir di jendela dapurnya. Lalu dia mendengar suara jeritan burung hantu di halaman belakang. Lepas makan bersama, dia sedang sibuk-sibuknya merapikan piring-piring yang berserakan di meja, sedangkan suaminya dan simbah, sedang sibuk dengan dunianya sendiri. Tiba-tiba, beberapa gerombolan datang tanpa mengetuk pintu, dan memasuki rumahnya. Hal itu yang membuat mereka sontak bersama dan itu adalah tentara.

 

“jangan bergerak!” sembari mereka menodongkan senapan ampuhnya.

 

“lohh, pie iki pak?”

 

“tidak usah mengelak, tangkap mereka!” anak buah tentara tersebut menurut dan lekas menagkap.  Disitu juga dia melihat suami Menur bertugas dalam penangkapan tersebut.

 

“mas, mass tolong kami mas” sembari dia momohon dan bersujud memaksa. Namun, suami Menur hanya diam menunduk dan tak mengubris.

 

Mereka di bawah menuju ke truk para tentara tersebut, tidak hanya dia sekeluarga yang menumpangi truk tersebut. Ternyata, banyak petani desanya juga yang di tangkap. Sedangkan simbah dan suaminya di bawah oleh truk tentara yang berbeda. Mereka dipisahkan, antara truk laki-laki dan perempuan. dia tidak mengetahui mereka di bawah kemana, begitu juga simbah dan suaminya.

 

Mereka keheranan atas apa salah tudingan mereka di tangkap, tanpa bukti yang nyata. Bahkan, banyak di antara mereka yang di angkut bersamanya, mengaku di tangkap tanpa bersalah. Di larut yang malam, dia tidak bisa menghafal jalan, yang terasa sudah sangat jauh dari kampung.

 

Sesampainya, mereka diturunkan dari truk dan menuju sebuah hunian yang megah, dan tempat tersebut berdekatan dengan pantai, tepatnya di sebuah pesisir.  Disana mereka dimandikan oleh tentara perempuan. Diberikan wangi-wangian, seperti dipaksa menuju ke pesta. Namun tidak seindah itu. Rumah megah ini adalah rumah bordil, mereka dipersiapkan untuk menjadi pemuas birahi laki-laki, terutama pejabat, orang asing, dan kadang kala di waktu yang sempit tentara laki-laki mempergunakan waktu tersebut. Terdengar kabar, bahwa, laki-laki yang ditangkap, kebanyakan di larikan menuju ke Pulau Buru yang katanya di seberang pulau di Timur sana, dan dijadikan pekerja paksa seperti Romusha pada era penjajahan Jepang.

 

Hampir setahun sudah lepas dari kejadian penangkapan tersebut. Tanpa pengadilan, kabar, bukti, makanan, bahkan setetes upah dari penyikasaan mereka tidak ada. Mereka di berikan tempat tidur hanya dalam satu ruangan yang berisi puluhan perempuan. Pertama kalinya dia merasakan pemerkosaan yang terus menerus tak henti. Pemukulan, bahkan harus menjilat kelamin mereka. Beberapa di antara mereka telah pasrah dan menjalani ketersiksaan tersebut. Beberapakali juga banyak yang ingin melarikan diri, namun tertangkap oleh tentara yang terus berjaga di sudut-sudut rumah bordil tersebut. Sadisnya, beberapa yang ingin melarikan diri, dihukum mati. Begitu juga banyak yang ingin membunuh para penjaga mereka, semacam mucikari, yaitu perempaun tentara. Tetapi, tidak ada yang berhasil, sebab mereka mempunyai senjata, sedangkan senjata kami hanyalah massa dan kepercayaan.  Hari demi dia lalui di rumah bordil itu, dia terkadang saling memberikan ilmu antara perempuan yang ditahan, antara mereka yang sudah depresi dan mau bunuh diri, beberapa pengalaman setiap kongres yang di pidatoi oleh seorang wanita, sangat membuatnya bersyukur akan emansipasi wanita dan hak yang seharusnya diperjuangkan, dan memerangi yang menindas.

 

Dia memutuskan untuk mencoba lari dari tempat tersebut. Beberapa bulan dia memplajari cara untuk lari dari tempat tersebut. Dan di malam yang larut tersebut, sudah dipastikuan dia memulai pelariannya. Namun, dia tertangkap basah. Beberapa perempuan ternyata ada yang melaporkannya, karena melihatnya keluar dari kamar bersama tersebut. Pelapor tersebut terus memakinya yang tidak masuk akal, sampai dia terheran-heran, dan pelapor tersebut memakinya lagi mengatakan; “iki wes PKI, ne bukan kita, ne berikan ilmu, wes ilmu PKI”. seakan-akan dia mencari perhatian dari perempuan tentara tersebut.

 

Dia diadili tepat saat dikumpulkan di kamar tersebut. dia tidak merasa hal itu adalah suatu peluang terhadap pelariannya lagi, sama sekali tidak. Lalu dia bertanya kepada tentara perempuan tersebut,

 

“wes ta satu kaum, satu kelamin, perempuan! Orang barat memperkosa kami! Wes malu di depan laki mu, anakmu, di depan tuhan! Dusta! Asu!” sembari dia meludahinya, agar perempuan yang  ditahan dapat menimbulkan rasa balas dendamnya, bukan dogma-dogma yang terus meneyesatkan. Karena saat itu juga adalah bagian dari pijakan akhirnya menuju kematian.

 

Akhirnya dia di bawah menuju ke pesisir pantai. Tangan serta kakinya di ikat tali, dan tubuhnya dikafani karung. dia di naikkan di atas perahu kecil oleh dua orang tentara. Mereka membawanya jauh dari daratan, jauh, yang sangat jauh. Hingga berhenti dan terhening, yang terdengar hanya suara ombak kecil yang mengahantam perahunya. Dia hanya berharap bahwa tulisan yang di titipkan kepada satu orang perempuan yang dia percayai, karena dialah selalu mendengarkannya dan bisa dikatakan adalah sahabat barunya, yang dapat membawakan tulisan itu kepada nama yang terterah, yang berisi; “didalam kami seperti binatang-binatang liar yang tak berpenghuni, di jadikan penghisap sang pengembala kambing-kambing hitam. Kami di suruh berbohong terhadap kedaulatan kami. Ada perempuan yang merobohkan dinding juangnya, ada pula yang melanggar sumpahnya.  Apakah keadilan akan terus terpenjara? Atau lamanya hanya seperti musim paceklik, atau musim penghabisan darah yang tiada henti? Mereka berpakaian rapi menentang kami di hadapan para korporasi. Jika perbudakan adalah semboyan mereka, maka perlawanan adalah semboyan kita. Kepadamu  aku bertanya! Dan untukmu para perempuan yang akan  bermekaran dan bersuburan, kalian adalah biji-biji yang telah lahir dari rahim sang pemberontak di zaman  jahiliyah., di zaman dimana simbo kalian di nistakan oleh senapan  dan kebohongan yang di manipulasi oleh tentara. Dengarkanlah seruanku! Seruan perempuan pribumi, kata terakhir, emansipasikan dirimu dari perbudakan mental!

 

Semenjak tragedi itu jejaknya tidak ditemukan lagi di permukaan, jasadnya hilang. dan namanya dicari kesana kemari, tetapi tiada kabar yang kunjung usai. Namun, yang di kenang darinya hanyalah sepucuk surat yang di titipkan oleh sahabatnya di saat mereka di tahan dan di jadikan budak pemuas birahi.

 

Yogyakarta, 26 Maret 2021

Tan Manggabarani

 

Karya ini adalah sebuah karya fiksi yang saya buat untuk korban penghilangan paksa di masa peralihan, tertutama korban salah tangkap yang di tuduh sebagai antek politik garis kiri ‘Komunis’. dan hal ini sangat banyak dirasakan pada keluarga korban sampai saat ini, sebagaimana kejamnya kelompok yang melakukan tragedi dan strategi tersebut. dan mirisnya, hal ini dilakukan oleh sesama bangsa lokalistik kita sendiri, dengan satu dalih, yaitu demi ketertiban umum & penumpasan gerakan murni rakyat. sehingga, hal ini menjadi pelajaran besar dari kejadian masa lalu, bahwa hal ini tidak boleh lagi terjadi dan tentu saja sudah menjadi kewajiban negara untuk mengusut tuntas dalang dari segala kejadian tersebut. dan bagi saya tulisan cerita pendek tersebut adalah pembelajaran besar dari kisah hidup seorang wanita yang tak bersalah di tangkap di tengah dinamika politik perang dingin, yang pada akhirnya merasakan penyiksaan, pemerkosaan sampai dengan penghilangan. dan tulisan ini tidak mengangkat perihal perasaan individu perempuan saja, tapi secara menyeluruh, karena bagi saya cerita nyata yang selamat dan terselundup sampai hari ini dari korban yang dihilangkan merasakan hal serupa yang tentunya tidak dirasakan oleh kelahiran selanjutnya. maka bagi saya cerita ini menjadi pelajaran terbesar bagi kelahiran zaman ini.

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *