X lalu Hilang

Jarum jam berputar secepat yang ia bisa, seolah bosan dengan kodrat. Desa sepi seperti mati, putaran jarum jam terdengar jelas sangking sepinya. Satu jam besar di tengah desa beradu dengan ratusan jam kecil di rumah penduduk, bergerak maju menembus sepinya desa. Pasukan berseragam sama menuju beberapa rumah, membawa kaleng cat berwarna merah dan sebuah kuas, beberapa orang menunjukkan rumah yang mana yang akan di cat, beberapa orang mengecatnya. Apakah sebentar lagi lebaran dan ada pengecatan rumah gratis? Tentu bukan, rumah-rumah yang di tuju diberi tanda X.

 

Beberapa penduduk mulai nonggol, penasaran namun takut. Rumah siapa yang akan diberi tanda X kali ini? Bagi penduduk, tanda X sama dengan tidak lama lagi akan berakhir kehidupan, tanda X sama dengan kehilangan, kematian, janda dan yatim. Jaman ini, tanda X bearti salah satu dari anggota keluarga rumah itu sudah dicurigai sebagai mata-mata pejuang atau mata-mata sekutu.

 

“Mak, rumah kita sudah di tanda” Ujar Berahim yang mengintip melalui jendela rumah neneknya yang kebetulan berhadapan dengan rumah mereka, hanya dibatasi jalan.

“Semoga Ayah tidak pulang” Harap Nong, ibunya Berahim.

 

Orde berganti, setelah lelah dengan Penjajahan ternyata sekarang juga jaman penghilangan paksa. Orang-orang yang dianggap tidak patuh diberi peringatan dengan tanda X, jika tidak berkerjasama bisa jadi pulang tanpa nyawa atau hilang selamanya.

 

Nong sibuk dengan fikirannya, jarum jam mengisi ruang dengar semua yang ada di rumah itu. Bau ketakutan menyeruak, dicampur sepi dan hawa kematian menari-nari. Desa ini jarang sekali sepi dari hawa kematian, keluar dari mulut buaya masuk ke mulut harimau disambut dengan bahagia oleh srigala. Semua runtutan peristiwa membuat malam semakin panjang dengan mimpi buruk, siang menjadi tidak benderang dengan ketakutan.

 

“Sekolah ditutup, siapapun yang melanggar akan dicari” terdengar pengumuman melalui toa

“Mak, jika begini terus bagaimana dengan pembelajaran kami?”

“Berdoakan Him, Tuhan maha tau atas segala hal yang kita tidak tau”

“Kami harapkan, perempuan-perempuan segera keluar rumah dan berdiri di depan rumah masing-masing”

Deg, pasti ada yang tidak beres. Sakinah, Tante Berahim yang baru beranjak dewasa segera melumuri mukanya dengan arang dapur, memakai baju paling lusuh.

“Kenapa Cek?” Tanya Berahim

“Sekalipun dijanjikan bekerja di kota dengan bayaran mahal, tidak sudi aku angkat kaki dari desa ini. Lihatlah Him, setiap sore orang yang dibawa untuk diberikan pekerjaan di Ibu kota, tidak pernah kembali lagi, apalagi mengirimkan wesel untuk keluarganya.”

“Pasti akal mereka”

“Sekali lagi, di harapkan semua perempuan-perempuan segera keluar rumah dan berdiri di depan rumah masing-masing”

 

Berahim menarik nafas panjang, desa permainya sudah berubah meski sekolah masih dikelola, orang-orang ke kebun saban minggu namun kedamaian bersapa ria sambil menyandang cangkul sungguh tidak ada. Kadangkala, jika situasi berubah genting maka sawah-sawah tebengkalai dan tidak ada yang berani mengelola.

 

Perempuan-perempuan sudah diperiksa, beberapa orang diangkut paksa, beberapa berjalan menunduk dengan suka rela, beberapa orang melangkah optimis merasa akan memperbaiki nasib dengan segala yang dijanjikan itu.

 

Hujan turun seiring senja. Hingga malam menjelang, rumah-rumah bertanda X dijaga, terutama yang bertanda X dua sekaligus. Rumah panggung sederhana dengan atap tumpang milik nenek mempunyai lubang di tengah rumah, terbuat dari kayu kokoh diikat dengan rotan liar dan bisa dibuka sewaktu-waktu. Terdengar suara ketukan dari lubang itu. Suara lelaki parau dan pelan memanggil.

 

“Nong, ini abang”

 

Ibu Berahim segera menuju sumber suara, ia membukanya.

 

“Keadaan bahaya” Ujar Nong

“Abang tau”

Ayah Berahim, Cut Lem namanya segera naik dan bersembunyi di kamar adik perempuannya.

“Kita harus berjuang, kampung kita bisa kehilangan semuanya jika dibiarkan”

“Iya bang, hati-hatilah.”

 “tentu” Cut Lem mengiyakan.

Hujan belum reda, langkah sepatu terdengar angkuh menghentak ke tanah lalu  “brukkkkkk” suara pintu ditendang dari luar.

“Udeep beusaree… mati syahid(1)” teriak seseorang berbadan gempal, keras.

Beberapa sepatu menuju suara tersebut, Nong sudah pucat.

“Mana suamimu jahaman!”

Belum sempat Nong menjawab, lelaki itu menarik kerudung Nong hingga koyak. Cut Lem tidak tahan melihat istrinya di rendahkan, ia keluar dan melawan. Sepatu itu menedang tepat di dadanya, ia terjerembat.

“Pengecut, bersembunyi di ketiak perempuan!”

 

Malam merayap dan sempurna turun ketika sebatalion sekutu memasuki Desa, mereka menyeret Cut Lem dan beberapa orang yang rumahnya bertanda X. Anak-anak dan istri mereka yang membela ditembak di tempat. Lalu, mereka dibawa paksa keluar desa di tengah malam tua dengan gerimis masih membasahi kepala. Dipastikan setelahnya akan pulang tidak bernyawa atau hilang tanpa jejak yang bisa dilacak.

 

  1. Hidup bersama…mati syahid, ini salah satu hadih maja Aceh yang terkenal sebagai pemicu semangat perjuangan jika memang harus hidup selalu bersama atau mati syahid dalam mempertahankan agama dan negara, begitulah kira-kira makna ungkapan tersebut.

 

Nita Juniarti

 

 

Ketika Konfilk terjadi di Aceh, saat itu saya masih SD (Yang paling jelas saya lihat itu sekitar tahun 200-2003) namun saya sangat sadar ketika rumah-rumah yang diberi tanda X untuk orang-orang yang dianggap sebagai “Cuak” atau mata-mata. Biasanya, orang-orang yang sudah diberi tanda X ini akan selalu diawasi. Jika kedapatan, ada yang sampai di bunuh, di tembak, disiksa dan perlakuan mengerikan lainnya. Selain itu, zaman tersebut juga banyak orang-orang diculik tengah malam, Ayah dan laki-laki lainnya lebih sering menginap di gunung atau di hutan yang tinggal di desa hanya perempuan dan anak-anak. Sekolah ditutup, rumah sering di bakar sehingga masyarakat memutuskan mengungsi ke tempat yang aman dan pulang tiga bulan sekali. Banyak sekali kerugian dan ketakutan.

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *