Pusaran Prahara
Sore itu matahari memancarkan sinar kehidupan yang indah, langit dihiasi mega putih sedikit abu-abu dengan garis-garis yang tajam, burung-burung bernyanyian riuh rendah dengan terbang kesana kemari, angin bersemilir cukup kencang hari itu hingga menggoyahkan pohon yang terkena hempasannya, gemercik sungai deras menghantam berbatuan tetapi melantunkan suara yang menghibur telinga. Di dekat sungai itu terdapat sawah yang cukup luas dengan hamparan padi-padi yang menguning, di belakang sawah luas tersebut, berdiri perumahan kecil yang menawan mata memandang.
Rumah Tama terletak di antara sungai kecil dan di belakangnya terlihat pohon yang cukup besar. Pada halaman samping rumah Tama diisi dengan semak belukar yang tumbuh dengan liar. Rumahnya terlapisi kayu tua, dasar rumahnya dihiasi dengan lantai tanah, depan rumah itu disediakan dua bangku kayu reyot, ketika memasuki rumahnya diperoleh ruang tengah di mana Tama dan istrinya menghabiskan waktu, dekat pintu belakang terdapat bilik kamar kira-kira 3×3 meter ukurannya, di dapur terletak di samping kiri ruang tengah, semuanya dilengkapi dengan perabotan sederhana. Sore itu Tama, seorang buruh industri, sedang memangkas semak-semak yang sudah cukup lebat pada halaman kanan rumahnya, disertai peralatan seadanya, ia dengan saksama memangkas sampai habis. Setelah 20 menit berlalu ia berkata:
“Sudah cukup rapi hasil pangkasannya.”
“…..Mungkin cukup untuk hari ini.” sambung Tama.
Ia menyudahi kegiatannya dan segera ke depan rumahnya untuk beristirahat.
“Cukup letih hanya karena memangkas semak-semak itu.” gumam Tama.
Tubuh Tama yang kurus itu bercucuran keringat seakan-akan ia mandi, kumisnya yang lebat terlihat basah, garis-garis wajahnya yang sudah berusia 40-an bersimbah keringat, celana pendek yang ia kenakan pun tak luput dari keringat yang membanjir. Tak lama kemudian Nantari, istrinya, muncul dari dalam rumah. Ia mengenakan balutan kain batik rapi, disertai penutup tubuh dengan kebaya, dan berambut sepundak, dari bentuk tubuh dan rambutnya ia berusia 35-an. Nantari membawa nampang dan secangkir kopi.
“Ini Mas, kopinya.” kata Nantari sambil meletakkan kopi.
“Terima kasih, Nantari.” ucap Tama.
Sembari Tama meneguk kopinya, Nantari berkata kepadanya dengan raut wajah gelisah:
“Demonstrasi penuntutan pengembalian orang hilang akhir-akhir ini mengingatkanku pada Maria. Sejak tahun 1966, Maria tidak ke rumah, Mas.”
“…..Sudah 2 tahun berlalu.” sambungnya.
Tama menundukkan kepalanya, diam-diam ia teringat Maria, saudara perempuan mereka yang berusia 34 tahun. Ia meneteskan air matanya tanpa ia sadari.
“Ya, terakhir kali aku melihat dia ketika berada di stasiun. Dia kelihatan sangat ceria. Aku sendiri bahagia terhadap ekspresi
Maria yang menenangkanku.” ucap Tama. “Apa salah dia? Karena anggota Lekra?”
“….Betapa malangnya nasib dia, hak asasi untuk hidup direnggut oleh setan bernama pemerintah.”
Nantari memandang suaminya dengan raut wajah sedih.
“Mas, kita masih memiliki kesempatan untuk menuntut Maria kembali kepada pemerintah, dengan demonstrasi yang akan diadakan besok.”
Tama sekilas melirik mata istrinya, setelahnya ia menopang dagunya untuk memikirkan soal itu sejenak. Tama menghela nafas panjang dan kembali berdiri.
“Engkau benar, Nantari. Kita harus menuntut mereka untuk mengembalikan Maria.” kata Tama dengan semangat.
Langit menampakkan kusamnya, gegana berwarna abu-abu kabut. Walau hari sedang muram, matahari berusaha memancarkan sinarnya hingga lautan padi berkilau berkat cahayanya, anak-anak dengan gembira bermain air di sungai kecil dekat rumah Tama. Hari itu Tama tampil berpakaian rapi dengan setelan kemeja hijau, bercelana panjang agak lusuh. Ia sedang memakai sepatu di ruang tengah.
“Makan dulu, Mas.” ujar Nantari.
Tama melihat sarapan paginya hanya 1 buah singkong matang. Ketika Tama melihat istrinya, tertampang nyata sang istri menatap kosong pada singkong.
“Singkong itu untukmu saja, Nantari.” kata Tama sambil menunjuk singkong itu.
“Bagaimana dengan engkau?” tanya Nantari.
“Aku bisa makan di pabrik nanti.”
Nantari tak menggubris jawaban Tama, ia langsung melahap singkong itu secara beringas. Tama yang melihat istrinya hanya tersenyum.
“Nantari, aku akan pulang malam. Jaga diri baik-baik.”
Nantari menghentikan kunyahan mulutnya, kelihatan ekspresi tubuh Nantari yang seakan-akan menolak itu.
“Jangan sampai larut malam, Mas.” ucap Nantari.
“Kalau nasib tak kepalang buruk”
Nantari seolah-olah pasrah terhadap keputusan suaminya itu. Lalu Tama mengecup dahi istrinya dan beranjak pergi keluar rumah. Tatkala di depan rumah, ia melambaikan tangannya dan Nantari membalasnya dengan senyuman kecut.
Tama mulai menyusuri jalanan pedesaan yang asri, melihat petani-petani berpeluh kerja, memandang pegunungan yang kelihatan kokoh walau dari kejauhan. Selama lebih dari 20 menit, ia sampai di perkotaan di mana banyak manusia-manusia sibuk berlalu lalang, pengemis bergelandangan, pamflet demonstrasi bertebaran dimana-mana, orang kurus pun menjadi pemandangan yang lumrah karena kemiskinan. Tama akhirnya sampai di pabrik, tempat itu cukup besar dan pada corong atapnya terus-menerus mengeluarkan limbah asap.
“Tuhan memihakku.” gumam Tama.
Setiba memasuki pabrik, ia disambut Darta, rekan kerjanya, ia berumur sekitar 34 tahun, bertubuh besar dengan otot-otot kasar ditangannya, ia selalu memakai hem yang sudah kumal, terpasang pula topi capio dikepalanya, dan celana yang ia gunakan sedikit kedodoran.
“Selamat pagi, Tama.” sambut Darta.
“Selamat pagi juga, Darta. Bagaimana kabarmu?”
“Kondisi badan baik dan seluruhnya juga baik.” ucap Darta.
“Yah, memang seharusnya seperti itu.” kata Tama sambil memegang tangannya.
Masing-masing mulai bekerja mengoperasikan mesin. Dengan gigih, mereka memproduksi alat rumah tangga sehari-hari. Suasana bekerja dalam pabrik itu menyenangkan, para pekerja bekerja sambil bercengkerama satu sama lain, Darta sesekali berjenaka untuk rekan-rekannya, bahkan suara tertawa pun sepertinya menjadi awam terdengar disini. Terlihat Darta dengan lihai mampu memproduksi barang dengan cepat daripada Tama.
“Engkau tidak berkembang sejak dahulu, Tama.” ejek Darta.
“Manusia selalu berproses ke depan, Darta. Tak patut kau mencelaku.” kata Tama sambil tersenyum.
“Mudah untuk mengejek engkau. Tetapi kau benar.” balas Darta.
Mereka melanjutkan bekerja hingga matahari tepat berada di atas mereka. Keduanya berhenti dan segera rehat sejenak dengan makan siang seadanya.
“He Darta, bukankah kau punya sahabat yang hilang semenjak 1966?” ucap Tama.
Darta yang mendengar hal itu cukup kesal, ia menendang kecil mesin yang berada didekatnya berkali-kali.
“Memang, dia satu-satunya sahabatku yang paling mengerti diriku.” kata Darta.
“Aku turut merasakan dirimu, Darta.”
Darta menatap lama wajah Tama dan memandang kondisi sekitar, ia menggumam-gumam tidak jelas, jari-jarinya ditempelkan pada bibirnya.
“Aku teringat padanya kembali setelah 2 tahun silam. Dia adalah anggota BTI, dia sendiri tidak tahu-menahu pada peristiwa berdarah ’65. Mengapa ia mesti diterlibatkan? Ia hanya petani kecil yang ingin menyejahterakan keluarganya.” Ucap Darta.
Tama cukup lama termenung mendengar cerita itu, ia perlahan mendekati Darta.
“Teringat jelas dalam pikiranku, waktu itu 11 September 1966, aku berkunjung pada gubuknya di daerah utara. Yang menemuiku bukan dia, tetapi istrinya. Sang istri hanya menatap kosong diriku, ia mengucapkan “suamiku sudah lama tidak pulang” dengan terpenggal-penggal”
Darta seakan ingin mengucapkan kata namun diam sejenak.
“…..Keesokannya aku berkunjung lagi, namun yang kutemui hanya reruntuhan gubuk.”
Tama terpaku mendengar cerita Darta, berkali-kali ia mengusap pipinya karena basah.
“Darta, sore ini aku berencana akan ikut demonstrasi penuntutan pengembalian orang hilang di depan gedung kementerian hukum. Engkau juga ingin ikut tidak? Ini menjadi harapan kita.” kata Tama.
Darta dari gerak tubuhnya tampak setuju dengan ajakan Tama itu. Ia menatap kosong pada langit-langit pabrik seakan-akan ada keberuntungan yang akan jatuh.
“Ya, aku akan ikut denganmu.” ucap Darta.
Darta tiba-tiba cukup lama memandang Tama, mulutnya menganga sedikit dengan mimik wajah serius, ia berucap:
“Kau akan berjuang untuk Maria?”
“Tentu, untuk saudaraku.” ucap Tama.
Darta menyunggingkan senyum pada bibirnya sambil menepuk bahu Tama.
Selama 30 menit larut dalam pembicaraan, bel tanda kembali bekerja pun berbunyi. Para pekerja termasuk Tama dan Darta berbondong-bondong menuju mesin kerjanya masing-masing untuk mengoperasikan mesin setelah 1 jam tidak digunakan.
Tama dengan gigih mampu menghasilkan barang dengan cepat.
“Wah, sepertinya Tama kerasukan!” kata salah satu pekerja.
Tama berseri-seri mendengar hal itu. Darta pun hanya tersenyum lebar mendengar hal itu.
“Hebat kau, Tama.” ujar Darta.
Tama hanya membalas Darta dengan senyuman dan mereka terus melanjutkan pekerjaan.
2 jam berlalu, tak terasa bel ring berbunyi nyaring dan cukup keras pertanda pekerjaan telah selesai hari itu. semua pekerja mengemas dan membersihkan ruang kerja masing-masing sebelum berpulang. Ketika kebanyakan pekerja meninggalkan pabrik itu, Tama dan Darta tak bergerak mengikuti mereka. Keduanya duduk pada bangku biru tua dekat mesin Darta.
“Berangkat sekarang?” tanya Darta sambil membenarkan kerah hemnya.
“Mari.” Ucap singkat Tama sambil membenarkan tali sepatunya.
Keduanya berjalan kaki dari pabrik ke gedung kementerian hukum. Sembari berjalan, mereka saling berbincang-bincang satu sama lain.
“Kita tidak sendirian dalam nasib yang dibebankan pada kita.” ucap Tama.
“Ya, aku pernah mengetahui pula jika teman-teman sahabatku juga dipenjara, disiksa, dan dibunuh pada 2 tahun yang lalu.”
Tama diam tidak menjawab langsung, ia seakan-akan merasakan penderitaan mereka.
“Banyak kejahatan yang mengatasnamakan kemanusiaan.” kata Darta.
“Benar, tetapi pada akhirnya kejahatan selalu kalah. Entah kekalahan itu kapan terjadi.” ujar Tama sambil memandang langit.
Darta tak mengucapkan sepatah kata pun. Dalam perjalanan, mereka juga banyak melihat kondisi perkotaan yang kontras.
“Dimana-mana aku melihat kampanye pembangunan, namun kemiskinan terlihat dibalik slogan pembangunan.” ucap Tama.
“Ya, itu benar. Masih banyak pengemis, tunawisma disini.”
“Entahlah, justru penguasa seharusnya memperhatikan mereka.” kata Tama
Tak lama mereka sampai di gedung kementerian hukum, keduanya memandang kondisi yang memprihatinkan. Jeritan yang menyakitkan juga memenuhi gendang telinga karena banyak pengunjuk rasa terluka akibat tindakan represif oleh pihak aparat.
“Kondisinya benar-benar seperti neraka!” ucap Darta sambil merasa ngeri.
Tama yang sedang gelisah dengan suasana represif aparat, tiba-tiba mengambil megafon yang kebetulan ada di dekatnya.
“Hai para aparat, tugasmu adalah mulia. Bukankah kalian seharusnya bisa merasakan hati pengunjuk rasa yang sedang berdemonstrasi ini? Mengapa hati kalian seolah-olah buta terhadap realitas ini? Tugasmu adalah mulia, engkau menjaga kami, bukan merepresi kami!” ucap Tama sambil mengepalkan tangannya.
Perilaku pihak aparat yang menendang, memukul pengunjuk rasa tiba-tiba sunyi samar, kata-kata nyaring Tama seakan menghipnotis para aparat, mereka semua saling berbisik seakan sadar diri. Setelah itu para aparat menyesuaikan diri agar berbaris rapi di antara sudut depan gedung itu. Tama yang melihatnya tampak puas, setelah itu dia meletakkan megafon itu.
Demonstrasi akhirnya berjalan lancar dan tertib, sehingga dimana-mana teriakan keadilan terdengar semampai setelahnya.
“Kami minta Putri kami!” kata salah satu pengunjuk rasa.
“Keadilan untuk korban hilang paksa 1965!”
“Kami menunggu mereka 2 tahun lamanya!”
“Temukan anak kami!”
Tama tiba-tiba menaiki sudut bangunan sebelah kiri dan berkata dengan lantang.
“Kembalikan saudara saya dari tangan pemerintah!”
Banyak slogan dari spanduk dan papan yang bertebaran dimana-mana. Raut wajah para pengunjuk rasa menunjukkan kesedihan dan kemurkaan, Darta pun inisiatif mengangkat megafon dan berteriak:
“Kami ingin menemui Menteri Hukum sekarang!”
Teriakan lantang Darta menggema di seluruh kalangan pengunjuk rasa. Mereka semua akhirnya mengubah frasa kalimat menjadi menuntut Menteri Hukum untuk hadir di depan mereka.
“Pertemukan kami dengan Menteri!” ucap Tama yang diikuti seluruh pengunjuk rasa.
Kata-kata tersebut layaknya yel-yel keadilan yang bertukas-tukas hingga perhatian warga sekitar pun berdecak kagum melihat perjuangan itu.
“Dimana Bapak Menteri?” teriakan salah satu pengunjuk rasa.
Selama 10 menit suara pengunjuk rasa semakin tak terelakkan. Akhirnya, muncul Menteri Hukum dari depan pintu utama gedung. Ia berpakaian jas tutup coklat dengan tubuh agak kurus, berkacamata tebal kehitaman, pada kepalanya ditutup dengan peci pendek hitam. Dari guratan wajah-wajah yang semakin jelas, ia berumur sekitar 50 tahun. Menteri itu menghampiri pengunjuk rasa dengan tergesa-gesa, sesekali ia memandang tajam para pengunjuk rasa. Terlihat pula para aparat mendampinginya. Sesampainya di depan para pengunjuk rasa, ia berbicara:
“Apa yang kalian inginkan?” tanya tegas Menteri itu.
“Kami ingin keluarga kami dikembalikan yang telah lama hilang sejak 1966!” kata Tama dengan gagah.
Menteri itu cukup lama termangu, ia berpikir sebentar dan mengatakan:
“Bagaimana jika tuntutan kalian tidak dipenuhi oleh kami?” kata si Menteri.
Salah satu pengunjuk rasa berteriak marah setelah mendengar jawaban itu dan Darta mengatakan:
“Jika kalian tidak memenuhi tuntutan kami, sungguh kalian bukan manusia, karena pembeda antara manusia dengan makhluk lain adalah empati. Bagaimana perasaan Bapak jika salah satu anggota keluarga kalian dipaksa hilang oleh seseorang?”
Menteri itu tidak langsung menimpali perkataan itu, tetap saja memandang tajam para pengunjuk rasa. Setelah sekitar 2 menit
Menteri itu diam, ia menanggapi:
“Baiklah, tuntutan kalian akan kami sampaikan kepada Presiden. Dalam jangka waktu 1 minggu lebih, kami akan mengumumkan kembali melalui keputusan Presiden.”
Mendengar keputusan tersebut, para pengunjuk rasa berteriak riuh gembira, ada yang mendongakkan kepala seakan-akan mensyukuri rahmat-Nya, ada yang memeluk satu sama lain, ada yang menangis sambil bersujud. Tama dan Darta saling memandang dan tersenyum.
“Terima kasih, Bapak.” ucap Darta.
Sesudahnya, Menteri Hukum itu berbalik dan meninggalkan para pengunjuk rasa, pandangannya tertunduk dan berjalan seperti terseok-seok.
“Mari pulang para hadirin, inilah kemenangan kita!” kata Tama.
Para pengunjuk rasa tetap riuh diiringi gerakan tercerai berai untuk pulang. Tama dan Darta pun pulang karena matahari sudah hampir terlelap.
1 minggu berlalu. Pagi itu, Tama dan Nantari menunggu langganan harian koran yang mereka biasa terima. Dengan harap-harap cemas mereka menanti, Tama pun menghilangkan kegundahan dengan memangkas semak-semak di sebelah kiri rumahnya, Nantari hanya melamun memerhatikan aktivitas yang dilakukan suaminya itu. Melihat istrinya hanya melamun, Tama berniat membuyarkan lamunannya dengan bertanya.
“Nantari, dimana Pak Toha? Biasanya ia tidak selama ini dalam mengantarkan koran.” ucap Tama
“Entah, Mas. Aku cemas.” keluh Nantari.
“Mengapa, Nantari?” tanya Tama sambil menghentikan pangkasannya.
“Bagaimana jika pemerintah tidak memenuhi tuntutan kita?”
“Jika memang tidak, berarti mereka memang sudah terkubur rasa manusianya.” Ucap Tama dengan mimik wajah serius.
Tak lama kemudian datang Pak Toha dengan sepeda tua dan wadah korannya, pedagang koran langganan Tama, yang memiliki perawakan bagus dengan jenggot putihnya, ia selalu memakai topi yang lusuh. Ia datang membawa bertumpuk-tumpuk koran.
“Akhirnya engkau datang, Pak Toha.” ucap Nantari.
“Wah ada apa ini? Tak biasanya engkau seperti ini.” ucap Pak Toha sambil tertawa.
“Ah, kami hanya ingin membaca informasi yang kami ingin baca.” kata Tama.
“Baiklah, Tama. Untuk biaya, minggu berikutnya saja, sampai nanti!” ujar Pak Toha sembari pergi.
“Terima kasih!” ucap Nantari dan Tama kompak.
Tama dan Nantari segera membuka lembar demi lembar koran tersebut, mereka sibuk mencari pengumuman keputusan Presiden tentang penghilangan paksa. Tak berselang lama, muncul Darta tergopoh-gopoh menghampiri Tama dan Nantari. Tama yang menyadari kemunculan Darta segera menyambar:
“Darta, ada apa?”
“Keputusan Presiden tidak akan pernah ada. Saya diberitahu letnan di markas militer utara tadi subuh.” kata Darta.
Tama dan Nantari sontak kaget, mereka tampak bimbang. Sementara itu Darta terus melanjutkan:
“Letnan itu juga memberitahuku bahwa salah satu pengunjuk rasa telah hilang. Ia menghilang 2 hari setelah demonstrasi. Pihak aparatlah yang menculik dia.”
Tama dan Nantari cukup lama diam, masing-masing saling memandang satu sama lain. Tiba-tiba Darta pun menunduk saja, air matanya menetes.
“Kita sedang diburu pemerintah untuk ditangkap.” si Darta berucap, “Karena telah memprovokasi pemerintah penyebabnya.”
Tama tergemap mendengar hal itu, Nantari tampak memegang tangan suaminya seakan tidak rela mereka berdua ditangkap.
“Bagaimana bisa? Kita memperjuangkan keadilan yang harus dipenuhi. Apakah memperjuangkan keadilan menurut pemerintah adalah serangga yang harus dibasmi?” ucap Tama.
Darta hanya menunduk saja sejak tadi, diam seribu bahasa. Tama hanya termangu.
“Kita sudah bosan berputus asa, maka satu-satunya cara untuk menghindar perburuan ini adalah kita harus bergerak pindah.” ucap Tama.
“Jika memang itu adalah kehendak nasib terbaik kita, mari kita bergerak.” kata Darta.
Nantari masuk kedalam. Ia keluar lagi membawa kemasan kecil untuk bekal bepergian, Tama pun juga mengemas berbagai keperluan sederhana untuk kebutuhan hidup. Darta hanya memandangi keduanya. Sebelum meninggalkan rumah, Nantari membuang anak kuncinya dengan dilempar.
Mereka mulai menapaki jalanan berbatuan, melewati berbagai pedesaan, berjalan dengan harapan kosong, Darta hanya melihat jalanan, begitu pula dengan Tama dan Nantari.
“Tak pernah terbayang kita akan melakukan ini.” kata Nantari.
Darta hanya menghela nafas dan Tama tetap diam menghiraukan keluhan Nantari.
Setelah hampir 1 hari perjalanan, mereka rehat untuk semalam di dekat pedesaan bagian selatan. Terlihat jelas Nantari yang sudah kelelahan dan pucat pasi. Tama yang menyadari itu segera mencari air minum dari barangnya.
“Nantari, ini air minum.” ucap Tama sambil menyodorkan minuman.
“Kita sudah melangkah sejauh ini.” ucap Darta.
“Ya, ini sebaik-baiknya bentuk perlawanan kita terhadap mereka.” kata Tama.
Darta mendekati ujung batu dekat sawah sambil memandangi langit dan bintang serta sayup-sayup suasana gelap rendah pada pedesaan.
“Berapa lama kita seperti ini, Tama?” kata Darta.
“Entah, mungkin sampai mereka tidak memburu kita.”
Tama hanya diam saja, sementara Nantari sudah tertidur pulas di sampingnya. Tama mendekatkan diri pada Darta.
“Kehidupan ini selalu sulit, bukan?” Darta menyahut Tama yang didekatnya.
“Bagiku tidak.” kata Tama.
“Mengapa? Bukankah kita selalu sulit; orang dekat kita hilang, sekarang kita diburu?” ucap Darta sambil menatap Tama.
“Keadilan hidup itu selalu abu-abu, Darta. Ia tidak memihak siapapun, ia tidak memandang apapun. Namun, mereka mengartikan keadilan sebagai hitam absolut. Sehingga kita dibuat menderita seperti ini.” ucap Tama sambil memandangi wajah Darta yang lesu. “…..Sehingga bagiku kehidupan tak sulit. Karena kita selalu menang walau dipojokkan.”
Darta yang tadinya menatap Tama, ia menundukkan pandangnya dan sekali lagi menatap langit yang semakin berkabut.
“Ya kau benar, Tama.” ucap Darta.
Hari semakin larut, warna langit semakin gelap dan suasana menjadi dingin luar biasa, sesekali terdengar burung melolong.
Mereka berdua beranjak untuk tidur.
“Sudah larut malam, mari kita tidur.” Tama berucap.
“Ya.” jawab singkat Darta sambil mulai merebahkan badannya.
Tama juga merebahkan badannya disisi Nantari.
“Selamat tidur.” kata Tama.
1 jam berlalu, cahaya lampu menyilaukan tempat itu, tiba-tiba pihak aparat berjumlah 6 orang dengan pakaian sipil menemukan mereka, dan masing-masing membawa mereka pergi secara paksa. Tama dan Darta yang terbangun karena kegaduhan segera menyadari, mereka memberontak tapi gagal. Sejak itu, keberadaan Tama, Darta, dan Nantari tidak pernah diketahui rimbanya. Mereka menghilang di tengah masyarakat.
Alvino Rizki K
Tentang 2 seorang sahabat yang masing-masing kehilangan sosok teman dan keluarga akibat represi pemerintah. Mereka terus memperjuangkan keadilan bagi mereka seutuhnya.