Cerita dari Pidie, Aceh — Rafsanjani
Konflik adalah sebuah situasi yang saling bertentangan pendapat tentang sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan atau kepentingan masing-masing. Selain itu, Konflik juga meupakan benturan yang terjadi antara dua pihak atau lebih yang disebabkan karena adanya perbedaan kondisi sosial budaya, nilai, status, dan kekuasaan, dimana masing-masing pihak memiliki kepentingan terhadap sumberdaya alam ( Fuad dan Maskanah). Konflik Aceh terus terjadi berkepanjangan hingga perdamaian Aceh terjadi bertepatan dengan terjadinya Tsunami Aceh pada tahun 2004 sehingga mengantarkan perdamaian MOU Helsinki pada tahun 2005 dengan kesepakatan damai antara pemerintah republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Pada tahun 1989- 1998 konflik Aceh terjadi salah satunya tragedi rumoh geudong. Tragedi rumoh geudong adalah sebuah penyiksaan terhadap masyarakat Aceh yang dilakukan aparat TNI (Kopasus). Tragedi ini terjadi di sebuah rumah tradisional Aceh yang dijadikan sebagai markas TNI di desa Bili, Kemukiman Aron, Kecamatan Glumpang Tiga, Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh. Di markas tersebut sangat banyak terjadi pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia). TNI banyak melakukan kekerasan terhadap warga yaitu kekerasan fisik, kekerasan seksual, kerasan verbal hingga penghilangan nyawa. Penyiksaan yang dilakukan sangat keji terhadap sesama manusia seperti kekerasan seksual pada seorang warga di wilayah tersebut. Kekerasan atau penyiksaan yang dilakukan berupa pemotongan alat kelamin, pemotongan payudara, mencabut kuku dan memasukan benda ke dalam kemaluan, dll. Bukan hal itu saja, yang sangat memprihatinkan lagi, setelah mereka melakukan penyiksaan , pelaku memasukkan korban ke dalam sumur yang berada disekitaran Rumoh Geudong. Selain itu, Ketika mereka melakukan kekerasan atau penyiksaan tersebut, mereka menghidupkan musik dengan sangat keras agar jeritan suara korban tidak terdengar keluar. Sehingga sampai sekarang ini masyarakat yang melintas di depan Rumoh Geudong pada malam hari banyak mendengar suara jeritan yang terdengar dari dalam sumur. Karena peristiwa ini hak korban/ penyintas sangat banyak terampas salah satunya hak untuk mengenyam pendidikan, trauma yang dirasakan berkepanjangan, serta hak kesejahteraan buat keluarga korban tidak terpenuhi.
Harapan para korban/ penyintas pada pemerintah Aceh ke depannya untuk lebih memperhatikan dan memberikan perhatian khusus terhadap para korban/penyintas, keluarga korban dan anak korban. Terutama dalam bidang pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial, dan kesejahteraan ekonomi. Karena sangat banyak anak korban penyintas yang putus sekolah disebabkan kurangnya ekonomi dan masih berada di bawah garis kemiskinan. Para korban juga berharap pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Karena selama ini mereka telah mendapatkan pelayanan kesehatan berupa BPJS (Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial) kesehatan tetapi belum sepenuhnya terpenuhi. Selain itu mereka juga mengharapkan bantuan pemerintah yang lebih tepat sasaran seperti PKH, Bansos, dll. Mereka juga berharap terciptanya lapangan pekerjaan untuk para korban dan keluarga agar mereka mempunyai pendapatan/ penghasilan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan meraka sehari-hari.
Pada tahun 2015 PASKA Aceh bekerjasama dengan AJAR (Asia Justice And Rights ) membangun sebuah komunitas yang bernama Rumah Belajar. Yang bergabung dalam komunitas ini adalah para korban/penyintas Rumoh Geudong baik laki-laki maupun perempuan. Komunitas ini berada di Kecamatan Glumpang Tiga, Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh. Dalam komunitas ini mereka berkumpul bersama-sama untuk pemulihan trauma terhadap korban/ penyintas. Berbagai metode digunakan dalam pemulihan trauma yaitu metode alur waktu, sungai kehidupan, peta kampung, peta sumber daya, kotak memori, batu bunga dan peta tubuh. Selain itu mereka juga menciptakan suatu kegiatan bersama yaitu bercocok tanam, usaha pabrik keliling, dan usaha aneka bumbu dapur (rempah-rempah). Tujuan dari dilakukannya kegiatan ini agar mereka memiliki kesibukan, menambah income/ penghasilan, dan sebagai wadah bercerita atau berbagi pengalaman, silaturrahmi serta pemulihan trauma terhadap korban.
Yang harus dilakukan untuk memperbaiki hidup penyintas / korban, mempertahankan perdamaian, dan mencegah terjadinya keberulangan peristiwa pelanggaran HAM adalah reparasi atau perbaikan kondisi bagi keluarga korban baik dalam bentuk pembayaran ganti kerugian oleh pelaku berdasarkan putusan pengadilan (restitusi). Pemulihan terhadap korban (rehabilitasi), dan ganti kerugian oleh negara terhadap korban (kompensasi), serta jaminan pelanggaran HAM tidak terjadi kembali di masa depan. Kemudian adanya pengungkapan kebenaran atas pelanggaran HAM masa lalu dan memberikan rasa keadilan dan jaminan kepastian hukum bagi korban atau keluarganya.