Komunitas Korban Konflik Timor-Timur di Dusun Makarti, Malili Luwu Timur, Sulawesi Selatan — Affif Syah Muhammad

Hidup sebagai pengungsi tidak pernah diharapkan oleh setiap orang di dunia ini. Tak ada yang membayangkan akan beradu dengan ketidak pastian hidup, kehilangan masa depan, berpisah dengan keluarga, membentuk identitas baru dan hidup dalam banyang-bayang trauma akan kekerasan masa lalu yang pernah mereka alami. Niat hati ingin terbebas dari kekerasan dengan menggadai hidup dikejar peluru, mereka menaiki kapal laut meninggalkan kampung halaman menuju tempat yang lebih aman. Ibarat gayung tak bersambut, kekerasan yang lain menanti mereka di tempat yang tak pernah mereka bayangkan akan menjadi tempat mereka menghabiskan sisa hidupnya.

 

Pasca Referendum berlangsung 30 Agustus 1999, ratusan ribu warga Timor-Timur berbondong-bondong meninggalkan tanah kelahirannya menuju Kupang Indonesia. Di Kupang kekerasan belum juga terhenti. Pembunuhan dan penculikan diluar hukum bagi orang-orang yang dicurigai kaki tangan Pro Kemerdekanan masih terus terjadi. Puluhan orang lalu berkumpul dan bersepakat untuk berangkat menuju Makassar dengan harapan memulai hidup baru dan jauh dari kekerasan.

 

Setibanya di Makassar, satu-satunya pilihan yang mereka miliki hanyalah mengikuti program transmigrasi untuk dapat terus bertahan hidup di tanah Sulawesi. Tanpa dibekali pengetahuan yang cukup, mereka diberangkatkan menuju Makarti dan membuka pemukiman baru bersama rombongan transmigrant lainnya. Secara otomatis mereka harus membentuk identitas baru, kebiasaan baru bahkan ada yang mengubah keyakinan mereka. Perubahan itu berlangsung sangat cepat dan memaksa agar bisa bertahan hidup. Kurang lebih seperti itulah konteks latar belakang puluhan orang Timor-Timur kini bermukim di Malili Sulawesi Selatan. Rentetetan peristiwa kekerasan telah mereka saksikan dan alami selama 24 tahun pendudukan Indonesia di Timor-Timur.

 

Fakta sejarah telah memosisikan mereka sebagai korban konflik di masa lalu. Namun hingga kini hak atas keadilan, hak atas kebenaran tentang peristiwa pelanggaran ham masa lalu yang mereka alami belum mereka dapatkan. Belum lagi hak atas reparasi atas segala kerugian yang telah mereka rasakan masih jauh untuk dapat diwujudkan oleh negara.

 

Problema yang lain menghadapi mereka di Malili. Kesulitan ekonomi, tanah yang kurang produktif, diskriminasi, hak atas tana, dan latar belakang pendidikan formal yang terputus akibat konflik saat masih di Timor memaksa mereka terhempas menjadi pekerja kasar di kota kabupaten. Dan kini ada ancaman ekspansi lahan korporasi yang akan merebut lahan garapan milik mereka di Makarti.

 

Uraian diatas menjadi simpulan saya setelah mengikuti program Community Learning Center (CLC). Setelah diberikan pemahaman menyoal HAM dan keadilan transisi serta bekal alat analisa sosial untuk memahami konteks situasi komunitas yang menjadi locus pembelajaran program. Hasil reflektif setelah terlibat dalam program membuat saya mengubah perspektif dan pemahaman yang selama ini saya yakini. Saya baru mengetahui bahwa ada mekanisme lain selain pengadilan dalam upaya pemenuhan hak atas keadilan korban pelanggaran HAM dan mekanisme tersebut menjadi penting untuk ditempuh sebagai kerangka pemenuhan keadilan bagi korban.

 

Kerangka keadilan Transisi yang saya dimaksud yaitu hak atas kebenaran, keadilan, reparasi/pemulihan dan jaminan ketidak berulangan atas peristiwa pelanggaran ham yang pernah terjadi. Hasil refleksi pribadi saya tentang beberapa kasus yang pernah diadili dalam mekanisme pengadilan ham tidak memberikan keadilan bagi korban. Bahkan sering kali kebenaran sejarah atas pelanggaran ham yang pernah terjadi dimanipulasi oleh rezim kuasa pengetahuan. Penyebabnya menurut saya adalah belum kuatnya suprastuktur hukum dan politik untuk memaksa negara memenuhi tanggung jawabnya untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran ham yang pernah terjadi. Contoh nyatanya adalah masih bercokolnya para terduga pelaku di rezim pemerintahan hari ini.

 

Olehnya perlu untuk memformulasikan kembali langkah politik tertentu yang berbasis pada kekuatan komunitas korban untuk mencapai keadilan. Benar bahwa untuk mencapai kepastian hukum dan pengakuan atas pelanggaran ham dan mengadili para pelaku hanya bisa dilakukan dalam ruang-ruang pengadilan, namun menurut saya perlu untuk melakukan penguatan-penguatan bagi komunitas korban untuk dapat mandiri dan terlibat aktif dalam proses meraih keadilan. Harapannya komunitas korban dapat bertransformasi menjadi sebuah kekuatan politik yang kuat berbentuk kekuatan massa untuk meronrong kekuasaan negara yang selama ini tidak peduli kepada korban.

 

Selain itu mengungkap/meluruskan kebenaran sejarah tentang pelanggaran ham yang pernah terjadi sangat penting untuk dilakukan. Dari kebenaran sejarahlah langkah awal menuju keadilan dan pertanggung jawaban bermula. Selain itu kebenaran sejarah dapat menjadi sebuah referensi untuk merumuskan tindakan preventif agar kejadian yang sama tidak berulang di masa yang akan datang.

 

Fakta bahwa hingga hari ini pemenuhan hak korban konflik Timor-Timur yang berada di Makarti belum terselesaikan. Capaian program CLC dalam bentuk temuan hasil analisa sosial menurut saya menjadi penting untuk diolah dan ditindak lanjuti sebagai proses partisipasi mewujudkan pemenuhan hak-hak para korban.

 

Pasca melakukan analisis sosial di komunitas korban yang ada di Makarti dan mendudukkan hasil-hasil analisis, saya melihat beragam ruang terbuka untuk memulai proses pengorganisasian komunitas. Pintu awal yang bisa dilakukan yaitu merespon kekhawatiran orang-orang tua di komunitas korban yang resah akan cerita-cerita, pengalaman, kisah sejarah terkait pelanggaran ham yang pernah mereka alami tidak terteruskan kepada anak cucunya. Harapannya dengan membantu meluruskan sejarah dapat membentuk kesamaan persepsi semua individu dalam komunitas atas kebenaran peristiwa dan menyadari posisinya sebagai korban pelanggaran ham masa lalu. Selain itu sebagai pihak eksternal membantu menyebarkan kebenaran sejarah tersebut kepada publik. Lalu setelah itu, dapat memulai membentuk kemandirian komunitas lewat pendidikan dan penyadaran hingga terbentuknya sebuah komunitas yang memiliki kekuatan secara politik.

 

Saya juga berharap agar dapat turut serta dalam kegiatan excahange ke Timor-Leste ini. Saya ingin belajar banyak dari para korban dan pendamping yang ada di Timor-Leste pasca konflik panjang yang terjadi di negerinya. Ini juga tidak terlepas dari konteks komunitas korban di Makarti yang berasal dari Timor-Leste. Harapanya segala pengetahuan yang saya dapatkan nantinya dari kegiatan exchange ini dapat menjadi referensi dalam membentuk strategi pengorganisasian komunitas korban di Makarti.

 

Sehingga di masa depan, saya membayangkan sebuah kekuatan politik baru terbentuk yang berbasis dari komunitas korban yang saling terkoneksi dan membentuk sebuah kekuatan massa untuk bergerak bersama mencapai keadilan. Semoga keadilan para korban pelanggaran ham masa lalu dapat terwujud dan pelanggaran ham tidak terjadi lagi di masa depan.

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *