Kota Gede, Yogyakarta — Aliefea Rabecca Puspita Sari

Kotagede merupakan suatu kota yang berada di dua kabupaten/kota yang beada di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebagian wilayah Kotagede ada yang masuk di wilayah Kota Yogyakarta dan sebagian lagi ada di wilayah Kabupaten Bantul, tepatnya ada di Kecamatan Kotagede dan Kecamatan Banguntapan. Kotagede saat ini secara umum dikenal sebagai basis pergerakan Islam modern Muhammadiyah. Selain itu, di Kotagede juga terdapat situs-situs peninggalan Kerajaan Mataram Islam yang masih bisa kita jumpai saat ini, seperti kompleks situs makam, sendang, dan masjid raja-raja dan keluarganya.

 

Di tengah-tengah eksotisme peninggalan masa lalu dan religiusitas masyarakat Kotagede ini, ternyata menyimpan sejarah panjang, tapi kelam berkaitan dengan salah satu kelompok masyarakatnya, yakni mereka yang dulu pernah bergabung atau menjadi simpatisan PKI (Partai Komunis Indonesia). Kongres pertama PKI tahun 1923 diadakan di Kotagede, tepatnya di Shopingen, yang bangunannya masih berdiri sampai hari ini. Selain itu, setidaknya sejarah mencacat, dua kali orang-orang PKI pernah ditangkap dan dipenjara. Ketika meletus perjuangan orang-orang PKI yang radikal melawan penjajah asing pada 1926 dan paska gerakan 30 September 1965.

 

Saya sebagai anak muda yang berdomisili di Kotagede hampir-hampir tidak mengetahui mengenai hal ini, sebelum berkenalan dengan Fopperham. Sejarah itu benar-benar terbungkam rapat-rapat, tak ada satu mulut pun dari orang-orang tua di Kotagede mau atau berani menceritakan peristiwa kelam ini. Sejarah kekerasan itu tidak terwariskan kepada kami. Saya lantas menjadi bertanya-tanya, ada apa dengan sejarah kekerasan masa lalu itu?

 

Fopperham memperkenalkan saya pada simbah-simbah yang pernah mengalami kekerasan masa lalu tahun 1965. Sebagai anak muda, saya tidak menduga jika di wilayah ini pernah terjadi kekerasan HAM berat masa lalu yang menimbulkan banyak korban. Saya sebagai anak muda merasa sedih dengan masalah ini yang belum terselesaikan sampai saat ini. Saya bergabung bersama Fopperham ingin mengenal lebih lanjut dengan simbah-simbah ini.

 

Saya sekarang dapat mengenal sekitar 30-an simbah yang pernah mengalami kekerasan masa lalu. Mereka dulu ada yang berprofesi sebagai seniman tatah logam, petani, pelajar, pedagang, dst. Simbah-simbah saat ini telah berumur sekitar 75 tahun ke atas. Dari 30-an simbah yang saya kenal ini, ada 20-an orang yang masih bisa datang untuk berkumpul dalam pertemuan rutin simbah-simbah di Kotagede yang diadakan setiap Minggu Wage. Meraka di pertemuan itu berkumpul untuk berkesenian Santiswaran dan sharing kesehatan pijat akupuntur. Sementara itu, untuk simbah-simbah yang tidak bisa datang, saya bersama teman-teman Fopperham mengunjungi ke rumah simbah untuk menemani ngobrol dengan simbah. Kebetulan, saya berkesempatan mengunjungi dan berbagi cerita dengan Mbah Matheus Istiar. Mbah Istiar mengatakan bahwa beliau habis jatuh sehingga kakinya sakit. Simbah ingin periksa dan berobat, tetapi kedua anaknya sibuk bekerja. Jadi tidak ada waktu untuk mengantar simbah ke dokter. Saya pun menawarkan diri untuk mengantar simbah ke rumah sakit. Tetapi ada kendala, bahwa masa layanan Buku Hijau layanan kesehatan dari LPSK yang hanya 6 bulan telah habis. Dengan melihat Buku Hijau yang hanya berlaku selama 6 bulan, menurut saya itu kurang memadahi karena tidak bisa, simbah dipaksa sakit pada saat 6 bulan masa Buku Hijau. Seharusnya pemerintah memberikan layanan kesehatan seumur hidup untuk simbah.

 

Sebagai anak muda, selama berproses menemani simbah-simbah, saya merasa pemerintah sudah harus mengakui dan mengembalikan/memberikan hak-hak korban kekerasan atau pelanggaran HAM berat masa lalu. Mengingat umur simbah-simbah saat ini yang sudah menginjak 75 tahun ke atas. Supaya sejarah (kelam) bangsa ini tidak hilang, saya sebagai anak muda akan sharing dengan orang-orang terdekat saya terutama dengan teman-teman anak muda (sebaya). Selain itu, jika ada kesempatan untuk mementaskan kesenian simbah-simbah, saya akan menyiapkannya dengan serius agar banyak orang muda mengenal simbah-simbah dan karyanya. Selain mementaskan kesenian, bisa juga memberikan fasilitas untuk simbah-simbah memamerkan karyanya yang bisa dikunjungi untuk masyarakat umum.

 

Sebagai anak muda, saya ingin belajar banyak di Timor Leste. Belajar tentang sejarah sosial politik di sana, mempelajari peran masyarakat sipil terhadap korban pelanggaran HAM dalam mendorong pemulihan hak-hak korban. Selain itu juga ingin tahu proses pendokumentasian terhadap korban pelanggaran HAM berat agar sejarah tidak dilupakan dan dikenalkan pada generasi muda agar bisa saya terapkan di komunitas saya.

 

Setelah saya mempelajari beberapa hal yang diberikan di Timor Leste tentunya ilmu itu tidak akan saya gunakan sendiri. Pertama, saya akan sharing bersama teman-teman, terutama dengan teman di komunitas Fopperham tentang apa saja informasi yang diberikan di sana. Setelah sharing, mungkin kita bisa berdiskusi mengenai hal-hal apa saja yang sudah berhasil di terapkan di Timor Leste. Kedua, mungkin ada beberapa kegiatan atau metode yang bisa kita terapkan di komunitas Fopperham mungkin dari hal yang paling mudah yang bisa kami lakukan yaitu cara pendokumentasian di Timor Leste, yang mungkin belum pernah kita lakukan sebelumnya di Fopperham.

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *