Sebuah Essay — Nur Wahid
Esai ini akan saya mulai dengan potongan lirik lagu Give Peace a Chance karya Jhon Lennon and The Plastic Ono Band yang pertama kali di perdengarkan oleh Lennon dan Yoko saat menggelar aksi “Bed-in for Peace”, sebuah kampanye aksi perdamaian yang dilakukan dengan cara tidak beranjak dari tempat tidur selama satu minggu di Amsterdam dan Kanada. Aksi kampanye ini merupakan bentuk protes terhadap perang dingin di Vietnam di tahun 1957-1975 yang juga beberapa bulan berselang di Timor-Timur Invasi Indonesia dimulai yang dikenal sebagai Operasi Seroja (7 Desember 1975) ketika militer Indonesia masuk ke Timor Timur dengan dalih antikolonialisme-antikomunisme untuk menggulingkan rezim Fretilin yang muncul pada tahun 1974.
Nama saya Nur Wahid, saya sekarang menetap di Makassar, salah satu kota yang juga dipenuhi dengan berbagai cerita pelanggaran hak asasi manusia. Saya menempuh pendidikan Strata I di Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin. Saya lahir dari sebuah keluarga yang terbilang sangat biasa-biasa saja (pemilihan diksi biasa-biasa saja disengaja dikarenakan kemiskinan adalah hal yang lumrah dan biasa didapati di negara-negara selatan seperti Indonesia). Karena harus hidup dari keluarga yang menderita atas peliknya sebuah sistem yang kejam membuat saya sangat dekat dengan ketimpangan dan ketidakadilan yang juga mendorong kesadaran saya tentang problematika hak asasi manusia. Semenjak saya menempuh pendidikan tinggi saya disadarkan dengan berbagai kejadian dan juga kasus pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di daerah tempat saya bernaung. Sebut saja Pembantaian Westerling (Desember 1946 – Februari 1947) yang merupakan operasi militer yang dilakukan Belanda dengan dalih memulihkan stabilitas di Sulawesi yang memakan korban hingga 40 ribu jiwa. Atau kamp Tapol di Moncongloe yang merupakan tempat penahanan simpatisan PKI yang mengalami praktek perbudakan, perampasan kemerdekaan hingga penganiayaan serta praktek penindasan HAM dari kurun waktu 1970-1978. Begitu juga peristiwa Amarah yang hingga hari ini belum diusut tuntas serta yang paling baru saya dampingi bersama dengan teman-teman Kontras Sulawesi adalah upaya pengorganisiran di Malili, tepatnya di Dusun Makarti yang dihuni oleh hampir keseluruhan pengungsi Timor-Timur dan anak yang dicuri (orang-orang yang dipisahkan) dari kampung halaman dan keluarganya atau biasa kita dengar dengan sebutan Labarik Lakon. Dalam pelbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Sulawesi, kendati tim penyelidik telah menerbitkan rekomendasi, cerita lama tetap terulang bahwa penegakan keadilan bagi para korban tetap jalan di tempat.
November kemarin, saya berkesempatan untuk mengikuti pelatihan fasilitator muda di Desa Buyung Katedo, Poso, Sulawesi Tengah (sebuah desa yang hingga hari ini di stigmatisasi sebagai daerah yang kejam, menakutkan hingga ditakuti untuk dikunjungi akibat konflik yang terjadi). Pelatihan ini mempertemukan saya dengan berbagai individu yang jauh dari kata “kejam, menakutkan maupun menyeramkan” seperti yang distigmakan selama ini. Saya disuguhi dengan keramahan dan kehangatan oleh warga disana. Belum lagi saya sangat beruntung dipertemukan dengan partisipan dan juga fasilitator dari Palu maupun Poso terlebih dari teman-teman AJAR dan SKP-HAM yang membuat khazanah pengetahuan dan pengalaman saya saat disana semakin kaya. Pelatihan ini membawa saya menjadi jauh lebih dekat dengan para korban serta memperkaya saya dengan pengetahuan tentang tujuan yang ingin saya capai dan pertahankan dalam rangka menciptakan dunia dimana hak-hak para korban pelanggaran HAM menyentuh kata “Adil”.
Pelatihan ini memberikan saya gambaran lebih jauh mengenai pendudukan Indonesia di Timor Timur dan penculikan anak atau lebih dikenal dengan anak curian dan konflik komunal yang terjadi di Poso. Dari pelatihan ini saya dapat memahami korban meskipun ada kesenjangan generasi namun hal tersebut tertutupi melalui metode pembelajaran di Community Learning Center. Dari hal itu pula saya dapat memetakan konteks nasional maupun internasional dari konflik yang terjadi, akar masalahnya, dan mengapa “impunitas” masih langgeng dan berlangsung hingga saat ini. Hal ini juga bermuara pada hadirnya pemahaman mendalam pada diri saya tentang konteks dan akar penyebab pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu. Tak hanya sampai disitu, dalam pelatihan ini saya juga dibekali dengan beberapa keterampilan untuk melakukan analisis sosial dan pekerjaan advokasi untuk gerakan HAM kedepannya. Hal yang saya dapatkan selamat program Community Learning Center adalah bekal yang sangat banyak yang hingga hari ini saya gunakan dalam rangka untuk melangkah maju menuju masa depan tanpa impunitas yang sekaligus juga sebagai jaminan untuk menghentikan ketidakadilan dan siklus kekerasan pelangaran HAM masa lalu dan masa kini.
Salah satu kerangka ataupun alat yang bisa digunakan untuk membantu dalam mengembangkan dan menerapkan strategi yang efektif yang berhubungan dengan sejarah kejahatan massal nan masif adalah “Keadilan Transisi”. Ini diperuntukkan demi mewujudkan demokrasi yang bebas serta transparan, kebenaran tentang apa yang pernah terjadi harus dibuka, diseldiki dan disebarluaskan yang juga meliputi pelaku kejahatan harus diadili, korban didampingi serta dihormati, dan hukum ataupun institusi harus direformasi untuk memastikan bahwa pelanggaran HAM massal tidak terulang kembali. Kerangka keadilan transisi terdiri dari empat pilar yaitu pencarian kebenaran, menuntut mereka yang bertanggung jawab untuk diadili, membantu memperbaiki hidup dan martabat korban (reparasi), dan memberikan jaminan agar pelanggaran HAM tidak akan terjadi lagi (reformasi institusi). Pilar-pilar ini saling bergantung antara satu dan lainnya, sehingga pendekatan harus dilakukan secara menyeluruh dan holistik. Inisiatif berbeda harus dilakukan secara berurutan agar pendekatan tersebut sesuai dengan konteksnya seperti pendekatan sensitif gender dibutukan untuk memahami dampak kekerasan pada laki-laki dan perempuan berbeda dan menjamin keikutsertaan dari masyarakat yang rentan serta termarjinalkan.
Saya percaya bahwa pengalaman adalah pembelajaran paling berharga dan tak ternilai dalam hidup ini. Berkunjung di Timor-Leste, bertemu dengan penyintas serta melihat tempat-tempat kejadian konflik adalah pengalaman dan nilai yang tak terhitung jumlahnya. Dapat berbicara dengan penyintas, menelusuri tempat-tempat yang diceritakan oleh penyintas kepada saya (cerita-cerita korban yang saya dapatkan di Dusun Makarti, Malili) akan membuat saya jauh lebih memahami dan mengerti tentang apa dan bagaimana keadaan pelik yang mereka lalui. Ini juga akan memperkuat keteguhan saya dalam rangka tetap dan mengabdikan hidup saya dalam gerakan hak asasi manusia. Pembelajaran yang akan saya dapatkan nantinya juga akan menjadi bekal bagi saya untuk disebarluaskan dan dipelajari bersama dalam rangka untuk meningkatkan kesadaran serta pengetahuan yang kaya mengenai konteks yang akan bermuara pada hubungan yang tulus berdasarkan kepercayaan dengan para korban. Hal ini juga demi untuk memastikan saya dapat memperkuat suara para penyintas tentang kebenaran dan untuk terus memelihara dan memperbaiki demokrasi di Indonesia dalam guna melakukan pemenuhan hak-hak kepada korban.
Terima-kasih.