Terkubur Oleh Batu, Mengabur dan Menyerbu Seperti Kutu.
Aku terbangun dari tidur siangku, sore itu suasananya sangat cerah. Matahari bersinar terang dan kulihat dari jendela hanya ada sedikit awan. Sepertinya hari ini tidak akan hujan. Meskipun demikian kepalaku masih terasa berat sesaat setelah pulang dari pemakaman sahabatku. Begitu banyak temanku yang tiba-tiba menghubungiku. Motifnya bermacam-macam, beberapa dari mereka bertanya tentang berita tentang sahabatku, tapi sebagian besar awalnya sekadar memberi dukungan moral kepadaku.
Kepada orang pertama yang kutemui, aku hanya menjawab sepatah kata. Disambung orang kedua yang kemudian kubalas dengan tarikan senyum kecil diiringi anggukan pelan. Dan akhirnya sampai juga ke orang ketiga dan seterusnya. Aku tidak merespon apa-apa selain memalingkan badanku sambil menggerutu. Sahabatku itu bernama Filep Wenda, diambil dari tokoh pejuang kemerdekaan Papua, Filep Karma dan Benny Wenda. Belum ada hasil resmi dari investigasi yang dilakukan oleh polisi. Meskipun demikian, orang yang hadir di pemakaman pun tahu. Apapun alasannya nanti, itu adalah bentuk kebohongan guna menutupi alasan sebenarnya kenapa Filep Wenda bisa sampai meregang nyawa. Ya, dia dibunuh oleh aparat berseragam.
Kejadian itu bermula ketika Filep memimpin sebuah demo bersama beberapa lembaga aliansi masyarakat dan mahasiswa guna menuntut keadilan khususnya bagi rakyat Papua. Seperti biasa Filep mengawali paginya memanjatkan doa kepada Tuhan Yesus, yang tidak biasa adalah di hari ini Filep mandi. Katanya ia tidak ingin menyurutkan semangat para demonstran hanya karena bau badannya. Sinar matahari mulai menyorot dari celah-celah dinding. Arlojinya telah menunjukkan pukul setengah 7 pagi dan kami bersiap untuk aksi.
Dengan menaiki Honda CB 100 milikku dan ditemani oleh bunyi denyitan khas motor tua, kami berdua menuju titik kumpul yang tidak jauh dari tujuan utama para demonstran yaitu gedung DPRD. Sebelum melakukan aksi, kami semua melakukan long march, setidaknya terdapat sekitar 6000 orang yang ikut berpartisipasi. Setelah sampai di titik yang disepakati semuanya berkumpul di depan mimbar.
Aksi para demonstran dimulai dengan mengumandangkan lagu Indonesia Raya yang diikuti oleh seluruh demonstran kemudian dilanjutkan dengan prosesi mengheningkan cipta sebagai bentuk keprihatinan terhadap kondisi bangsa dan negara. Acara disambung dengan aksi orasi serta mimbar bebas yang dilaksanakan dengan para orator, termasuk Filep. Filep sebagai perwakilan rakyat Papua menyuarakan seluruh aspirasi tentang ketidakadilan yang selalu diterima oleh rakyat Papua. Pidatonya disambut oleh hiruk pikuk teriakan demonstran lain yang turut bersimpati dengan apa yang disampaikan oleh Filep.
Filep adalah seorang mahasiswa tingkat akhir jurusan hukum, pertemuanku dengannya berawal dari sebuah acara diskusi politik yang selalu diadakan oleh salah satu organisasi kampus. Filep cukup terkenal di diskusi tersebut karena pendapatnya yang sangat kritis, aku dan Filep beberapa kali ikut demo yang beberapa diantaranya berakhir dengan kerusuhan. Meskipun aku sudah mengenalnya lebih dari satu tahun, kami baru benar-benar berkenalan ketika bertemu di sebuah acara pentas seni kampus yang diadakan setiap tahun.
Aku dengan Filep berteman cukup dekat, meskipun pada akhirnya hari-hari kami berdua selalu diisi dengan obrolan isu sosial atau briefing aksi demonstrasi mahasiswa. Tapi itu sudah cukup untuk membuat kami mengenal karakter satu sama lain. Hingga suatu hari, tepatnya setengah tahun yang lalu, hubungan kami berdua menjadi cukup berjarak karena dipaksa untuk sibuk menyelesaikan skripsi kami yang sudah molor selama satu setengah tahun. Pihak rektorat sudah memberi ultimatum kepada kami berdua jika di semester ini kami tidak dapat menyelesaikan skripsi, kampus tidak segan-segan untuk mengeluarkan kami berdua.
Di suatu malam, Filep mengajakku untuk nongkrong di sebuah angkringan. Katanya ia sedang pusing dengan skripsinya akhir-akhir ini, asistensinya pun sedang macet karena dosen pembimbingnya lebih suka mengerjakan proyek-proyek nasional ketimbang mengurus mahasiswa tua seperti Filep.
“Ah, sudah lama sekali aku tidak ngobrol dengannya.” kuturuti permintaannya.
Di depan kampus kami dipenuhi oleh pemuda-pemudi yang juga nongkrong di sepanjang trotoar. Kulihat ada sekumpulan mahasiswa baru yang kelihatannya baru pulang dari ospek, raut muka mereka yang lelah tetap terlihat meskipun mereka berusaha menutupinya dengan canda tawa. Selain itu ada juga beberapa mahasiswa senior yang mengambil jeda rapat, aku tahu karena mereka berulang kali membahasnya dengan suara yang cukup keras. Malam itu cukup dingin, tapi aku hanya mengenakan baju lengan pendek dan celana jeans yang sudah berlubang di bagian dengkul. Sementara Filep, ia memakai kaos hitam yang warnanya lumayan pudar. Aku ingat kaos itu sudah 3 tahun dipakai olehnya karena aku ikut ketika Filep membeli kaos tersebut di pasar mode yang terletak di tengah kota. Kami berdua duduk di angkringan jawa yang terletak di ujung trotoar.
Setelah mengambil dua gelas teh manis hangat dan sepiring penuh gorengan dari gerobak angkringan, Filep berjalan padaku dan berkata dengan logat khasnya, “Malam ini, sa yang bayar semuanya. Ko tak usah sungkan.”
“Huh, sombong sekali kamu. Ada apa? Kamu habis jalan sama cewek baru?” Seruku membalas ucapannya.
Filep duduk bersila dan melanjutkan omongannya, “Ko tahu hal yang paling mulia dan paling membanggakan dari sa? Menjadi orang Papua dan berjuang bersama mereka, Besok sa ingin turun ke jalan!” Kemudian ia mengambil sebatang rokok kretek yang ia beli sebelum kemari dan menyalakannya.
“Kenapa begitu? Kamu tahu ada berapa orang yang mengincar nyawamu?” Kataku geram.
“Kitorang orang Papua tra punya rasa takut mati. Mati hari ini, besok, kapan pun bagi sa selalu sama saja. Yang penting sa selalu belajar dan bekerja untuk tanah dan bangsa Papua sa saja, supaya sa punya keluarga bangga punya sa.”
Aku mengalihkan pandanganku dari Filep. Aku tidak ingin melihat wajah yang melemparku ke persoalan runyam yang membuatku menjadi orang yang tidak tahu diri. Namun pandanganku itu juga memberiku hal lain, yaitu sebuah pemikiran terhadap konflik yang terjadi di tanah Papua dari sudut pandang orang luar. Biasanya aku ingin menghindari obrolan itu karena aku tahu aku tidak cukup layak, sayangnya kali ini aku harus menyerah karena sepertinya Filep berharap aku melanjutkan obrolannya tersebut.
Perbincanganku dengan Filep mengenai isu ini memang sudah cukup lama dan intens. Dimulai ketika kami masih menjadi mahasiswa tingkat tiga, waktu itu ketika pagi mulai datang, namun matahari belum menampakkan dirinya. Hanya ada cahaya bulan yang masih menyelinap di sela-sela jendela kamarku meninggalkan sisa-sisa cangkir kopi yang masih setengah isi, buku-buku bacaan di atas meja, dan kertas-kertas yang penuh dengan coretan-coretan oleh tangan kami berdua.
Hubungan kami berdua memang cukup ganjil, pikirku. Musuh tapi tetap bersahabat, selalu ada hal yang membuat aku dan Filep bertengkar tiap kali kami bertemu dan berbincang. Wajah kami selalu merah terbakar karena saling emosi satu sama lain. Ungkapan sumpah-serapah dan makian saling bersahutan dan tak pernah absen dari mulut kami berdua. Namun, aku sama sekali tidak pernah merasa benci kepada Filep, begitu pula sebaliknya. Tidak ada perasaan dendam yang terlintas dalam pikiran kami berdua.
Malam itu kami berdebat lagi dan kali ini berlangsung cukup sengit. Awalnya kami berbincang mengenai kejahatan yang dilakukan oleh aparat-aparat terhadap para rakyat Papua. Aku sendiri pada waktu itu selalu berkata kepada Filep, tidakkah semua masalah ini bisa diselesaikan dengan dialog damai? Filep tertawa dan berkata bahwa aku sangat naif. Kemarahanku memuncak ketika Filep mengejekku bahwa semua pemikiranku dan ucapanku hanya sekedar sok-intelek dan sok-sophisticated. Bahkan dia berkata buah pikiranku hanya hasil dari onani otak agar terlihat pintar di depan orang terutama gadis-gadis di kampus.
“Ko tra ada beda dengan orang-orang barat itu, semuanya konyol. Mental ko su sangat borjuis. Sa muak dengar kata-kata ko”
“Lalu, apa semua hal yang memuakkan bagimu adalah sesuatu yang salah?”
Meskipun aku marah pada Filep malam itu, tapi aku benar-benar memikirkan kata-katanya. Sebagai kaum terpelajar apalagi yang punya akses ke pendidikan tinggi, aku sangat dekat dengan hal-hal dengan yang berbau dengan dunia barat, mulai dari pemikiran hingga budayanya. Aku menyadari beberapa pendapatku soal Papua sangatlah tidak konkret, tidak dialektis, apalagi sampai mampu memberi pengarahan yang tepat. Aku masih kikuk soal itu.
Aku belajar tentang persoalan rakyat Papua dari buku-buku yang ada di internet, perpustakaan kampus maupun dari diskursus-diskursus yang dibuat oleh beberapa lembaga. Yang aku ketahui sejauh ini memang selama beberapa dekade terakhir, tanah Papua memang tidak bisa beranjak dari berita dan stigma negatif. Kabar yang datang dari Papua hampir seluruhnya bernadakan negatif (Pelanggaran HAM, konflik horizontal, tuduhan makar). Dimulai pada Tahun 1969, waktu yang sangat membekas bagi kebanyakan warga Papua di mana terjadi sebuah peristiwa besar yaitu pemerintahan Pemerintah pada waktu itu berdalih bahwa semua bekas jajahan Hindia Belanda harus kembali ke Indonesia, tak terkecuali Papua. Namun sayangnya, proses pengambilalihan Papua ini juga dirasa memiliki banyak permasalahan.Misalnya, selama lebih dari enam minggu dari bulan Juli hingga Agustus 1969, United Nations melakukan apa yang disebut Act of Free Choice atau sering disebut dengan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera).
Menurut pasal-pasal Perjanjian New York (Pasal 18) seharusnya berlaku sistem one man one vote, yang artinya seluruh orang Papua dewasa memiliki hak untuk berpartisipasi dalam tindakan penentuan nasib sendiri yang akan dilakukan sesuai dengan praktik internasional. Tapi fakta di lapangan mengatakan pemerintah hanya memberi hak suara kepada 1025 dari 800.000 orang dewasa yang ada di Papua. Pepera adalah satu dari sekian banyak peristiwa kelam yang harus diterima oleh rakyat Papua.
Suasana demo masih terasa kondusif setidaknya sampai pukul 4 sore, terjadi ketegangan ketika massa yang awalnya duduk tiba-tiba muncul personel tambahan dari Kodam dan satuan kepolisian lainnya. Seluruh demonstran menjadi siaga dan melakukan aksi mimbar spontan di jalan. Aparat yang berjaga semakin memaksa untuk demonstran untuk mundur dan membubarkan diri namun yang terjadi justru mereka semakin merapatkan barisan. Tak lama berselang, di antara barisan aparat, terdapat anggota yang menertawakan. Dan dengan nada meledek mahasiswa, mereka mulai melemparkan gas air mata ke arah demonstran.
Suasana yang awalnya damai menjadi pecah ketika dua orang mahasiswa membalas serangan tersebut dengan lemparan batu, keributan tidak bisa dihindari meskipun beberapa kali kedua belah pihak berusaha untuk saling menenangkan. Kepanikan terjadi di sayap kanan dan bagian tengah massa yang berunjuk rasa. Di tengah kekacauan itu sebagian besar mahasiswa mulai mundur dan menjauh dari halaman gedung DPRD, beberapa mahasiswa lainnya masih bertahan sambil melemparkan batu ke arah barikade polisi.
Aku dan Filep yang berada di kerumunan massa berusaha untuk tetap tenang, melihat kondisi semakin tidak terkendali, aku memintanya untuk mundur dan ia menyetujui usulanku. Kemudian dari arah berlawanan, pasukan gabungan lengkap beserta peralatan penangkal huru-hara datang menghadang kami semua. Bak segerombolan tikus got yang kebingungan, para demonstran mulai berpencar. Ada yang berlari ke arah pertigaan, masuk ke perumahan warga, kemanapun asal bisa lepas dari kejaran polisi.
Sementara aparat lainnya, sambil lari mengejar massa mahasiswa, juga menangkap dan menganiaya beberapa mahasiswa dan mahasiswi lalu membiarkan begitu saja mahasiswa dan mahasiswi tergeletak di tengah jalan. Polisi yang berjaga di atas jembatan layang mengarahkan tembakannya ke arah mahasiswa yang berlarian, Filep terkena peluru karet dengan cukup keras di bagian punggung dan kepala sebelah kanan. Aku yang melihat kejadian itu langsung berbalik arah dan berlari ke arah Filep yang terkapar sambil meminta pertolongan. Tiga kawan demonstran ikut menggotong badan Filep. Melihat kejadian itu, muncul teriakan yang cukup keras dari barisan barikade polisi.
“Woy, anjing! Kejar! Jangan sampai lolos!”
Mereka langsung menyerbu ke tempat kami mengevakuasi badan Filep secara serempak, tujuh sampai sepuluh orang polisi memukul kami semua dengan popor senapan dan tongkat. Aku lihat seorang aparat berusaha memisahkan kami dengan Filep. Setelah terpisah, kami melihat Filep diludahi dan badannya diinjak-injak. Saat badannya masih telungkup menghadap aspal jalan, mereka tetap menyiksa dan mencelanya.
“Kau mau Papua merdeka? Langkahi dulu kami semua orang Indonesia!”
Filep diseret meninggalkan kami berempat yang sudah tidak berdaya. Di saat itulah aku melihat Filep untuk terakhir kalinya sebelum aku melihatnya lagi terbaring di peti mati dengan balutan perban di sekujur tubuhnya.
Di meja kamarku kudapati tulisan-tulisan Filep, meskipun wujudnya berantakan. Tapi tulisan itu dikerjakan dengan sungguh berhati-hati dan tidak tergesa-gesa. Huruf-hurufnya sangat rapi dan kalimatnya sangat runtut. Kubuka jendela-jendela dan kuhirup nafasku dalam-dalam, secara perlahan aku rapikan tulisan-tulisannya dan kumasukkan ke dalam map folio. Rupanya kenang-kenangan yang menyedihkan itu masih menggores hatiku.
Sambil tergagap dengan sisa-sisa luka yang ada, aku mencoba untuk bangun dari tempat tidur. Pada saat itu, aku menyadari bukan kepergian Filep yang membuatku sedih. Melainkan aku mulai tersadar bahwa hingga hari ini, di usianya yang telah beranjak ke tahun 52 sejak peristiwa Pepera, perlakuan semena-mena terhadap rakyat asli maupun warga keturunan Papua masih terus terjadi di lingkungan sekitar kita. Para aparat yang melakukan represi juga nyaris tidak pernah diberi hukuman yang memadai. Hingga akhirnya masyarakat menyerah terhadap lingkaran kekerasan yang tak pernah diakhiri oleh negaranya sendiri.
Bima
Sebagai anak yang terlahir dari keturunan Papua, Filep menjalani kehidupan cukup sederhana sebagai seorang mahasiswa. Gelora api perjuangan selalu membara dalam dirinya, bahkan tak segan banyak pihak yang mengintimidasinya pada tiap kesempatan. Cerpen ini berkisah tentang perjuangan seorang kawan dalam melawan ketidakadilan di Indonesia terhadap rakyat Papua