ANCAMAN EKOLOGIS TERHADAP PEREMPUAN EKS TIMTIM DI LINGKAR TAMBANG NIKEL LUWU TIMUR, Sulawesi Selatan — Rina Septiawati
Pelanggaran HAM kini sering sekali kita jumpai, tidak luput dari dusun Makarti, Dusun Harapan, Kec. Malili, Kab. Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Sebuah Dusun dusun kecil yang di huni sekitar 30 kepala keluarga Timor Timor (eks Timtim) untuk gelombang transmigrasi pada tahun 2000. Dusun Makarti sering disebut sebagai SP II yakni sebagai daerah transmigrasi gelombang kedua. Upaya transmigrasi dimulai saat diketahuinya kebangkitan gerakan separatis untuk memerdekakan Timor Timur dari Indonesia, sejak itu pula konflik terjadi. Selama perselisihan kemerdekaan Timor-timur, selama itu pula terjadi pembunuhan, deportasi, pemindahan paksa, kekerasan seksual dan kekerasan kekerasan lainnya. Hal inilah yang menyebabkan beberapa keluarga Timor-Timur memilih untuk tetap di indonesia.
Sayangnya, sejak memilih untuk lari dari wilayah konflik dan dibawa oleh tentara menuju ke Kupang, ledakan dan suara tembakan belum selesai. Saat berada di Kupang, pengeksekusian masih kerap terjadi di malam hari sampai pada saat nya mereka dibawa ke Makassar dengan pesawat dan ditempatkan di asrama bernama Al-Anshor. Sampai pada akhirnya mereka diberi pelatihan dan gambaran singkat mengenai daerah penempatan baru dan informasi bantuan dari pemerintah Sulawesi Selatan. Sejak itulah, 30 Kepala Keluarga ini bertemu dan tinggal di Dusun Makarti pada tahun 2000.
Meski demikian, kekecewaan pun menghampiri warga penyintas konflik Timor-timur saat sampai di lokasi transmigrasi. Dengan rumah panggung berdasar kayu dan jarak antar rumah sekitar 10-15 meter, ditambah dengan kondisi sekitar rumah yang masih seperti hutan dan beralas tanah merah, membuat masyarakat masih perlu bekerja keras untuk mengindahi halaman dan membangun aliran air ke Dusun Makarti dari pegunungan sekitar. ”ada sumur sumur diangkat dari atas (pegunungan), biasa juga kalau musim hujan ada gentong disiapkan, untuk tampung air. Kalau nda hujan, pergi angkat air dari atas (gunung) untuk minum dan cuci-cuci” lontar ibu Siti Maryam (salah seorang ibu eks Timtim yang tinggal di Dusun Makarti).
Meski terdapat bantuan dari pemerintah, tapi tak berselang lama. Setelah 2 bulan bantuan pemerintah habis, warga dusun makarti harus memutar otak untuk memikirkan bahan makan hari ini dan keesokan hari. Kesulitan datang satu persatu, mulai dari percobaan untuk menanam tomat dan ubi, menjadi terkendala karena pasukan babi hutan yang datang untuk menghancurkan kebun warga, tak sampai disitu, kesulitan dalam menanam pun dirasakan warga dusun Makarti dikarenakan unsur tanah yang tidak subur dan merah hasil tambang sehingga susah untuk ditanami tanaman untuk bertahan hidup.
Selama melakukan pembelajaran dalam Community Learning Center, penulis menemui banyak tantangan dan kesulitan. Diantaranya adalah rata-rata ibu korban konflik memiliki kepahaman bahasa Indonesia yang terbatas dibandingkan laki-laki. hal ini menunjukkan adanya ketimpangan pemahaman dalam pembelajaran bahasa Indonesia terhadap perempuan korban eks Timtim di Dusun Makarti.
Belum lagi mengenai kesehariannya sebagai ibu rumah tangga, yang mengharuskan mereka menghabiskan banyak waktu di dapur dan di rumah saja untuk mengerjakan hal domestik. Tapi, dengan adanya program Lingkar Belajar atau Community Learning Center, memberi penulis bekal tentang bagaimana proses pendekatan terhadap warga dengan tetap hangat dan tetap mengumpulkan data melalui narasi narasi yang disampaikan.
Perlu diketahui juga bahwa ancaman terhadap komunitas eks Timtim di Malili adalah lokasi mereka di lingkar tambang. Di Luwu Timur pada umumnya merupakan wilayah yang didaulat menjadi lokasi pertambangan nikel. WALHI Sulawesi Selatan dalam Catahu 2021 mengungkap jika terdapat 5 Izin Usaha Pertambangan di Luwu Timur. Adapun total luas konsesi sebesar 77.556,40 hektar. Wilayah ibu Siti Maryam bersama 30 kk lainnya tak lepas dari ancaman kerusakan ekologis yang semakin memperburuk kondisi mereka.
Bahkan dalam penelitian yang dilakukan ditemukan sudah pernah ada warga yang ditawari tanahnya untuk dibeli oleh perusahaan. Perlu diketahui bahwa kerusakan ekologis telah beberapa kali dilakukan oleh perusahaan tambang nikel di Kec. Malili. WALHI Sulawesi Selatan merilis jika telah terjadi sedimentasi di laut Lampia, pencemaran sungai Malili hingga beberapa kali jebolnya tanggul yang diakibatkan oleh perusahaan nikel disana. Kondisi tersebut menjadi pertanda alarm bagi ibu Siti Maryam dan tentunya mereka yang tinggal di lingkar tambang.
Dengan melihat keterpurukan yang dialami penyintas, perlu adanya upaya perbaikan hidup penyintas sebagai ganti rugi selama konflik. Selain itu juga perlu dilakukan pemulihan psikis, fisik, ekonomi maupun sosial terhadap traumatisasi yang dialaminya melalui konseling, pengobatan medis dan rehabilitasi sosial. Tidak hanya itu, juga penting memenuhi hak atas keadilan dan hak atas ketidak berulangan peristiwa.
Dengan berada di Timor Leste, penulis bisa menggali data lebih banyak, dengan mencari tahu bagaimana kehidupan dan apa saja ancaman perempuan-perempuan Timor Leste yang memiliki kesamaan keadaan dengan yang ada di Dusun Makarti yakni bertempat tinggal di sekitaran wilayah tambang atau perusahaan besar yang dapat mempengaruhi kehidupannya sehari-hari.
Setelah melakukan perjalanan di Timor Leste, penulis akan membagikan pengalaman dan data tentang bagaimana perempuan-perempuan yang bertempat tinggal sekitaran tambang dapat bertahan hidup untuk dijadikan bahan pertimbangan untuk penerapannya di Dusun Makarti. Selain itu, dengan mengumpulkan data, juga bisa mengumpulkan banyak fakta untuk meluruskan hal hal yang tidak sesuai untuk membentuk opini publik mengenai konflik yang terjadi, serta reorganisasi dan kolaborasi antara warga Timor Leste dan juga warga Dusun Makarti eks Timtim.