Menunggu Pulang untuk Dia yang Lantang

Kau sangat lantang dalam menyuarakan sesuatu yang dianggap ganjil. Bahkan teman-temanmu sampai memberi applause akan keberanianmu. Harusnya kau sudah menyusun karya ilmiah dan disetorkan kepada dosen pembimbingmu yang berkepala botak dan berperut buncit. Kau selalu percaya kebotakan itu akibat gelar doktornya karena saban hari membaca jurnal-jurnal sebagai referensi disertasinya. Dan buncit perutnya akibat meraba payudara atau bergulat di ranjang dengan mahasiswi yang bimbingannya.

 

Aku selalu mengingatkan kau untuk sudahi gelar aktivis kampusmu, tapi kau tetap bersikukuh dengan kilah selama masih ada yang tertindas mahasiswa harus turun tangan. Terakhir kau turut ikut penolakan terhadap isu penggusuran lahan pemukiman yang akan dijadikan bangunan pemerintahan.

 

Kau menolak sebab prosedur yang tidak transparan dari pemerintah perihal pembebasan lahan. Aku tidak terlalu mengerti kata-katamu, aku pun tidak suka baca buku Madilog karya Tan Malaka atau buku Pemikiran Karl Marx karya Frans Magnis-Suseono yang kau pinjamkan. Katamu buku itu akan mengubah persepsiku terhadap pemikiran orang-orang Indonesia yang masih kolot.

 

Kau mengikuti kelas Kaum Tertindas setiap hari Sabtu dan Minggu, katamu kelas itu bagian dari pergerakan juga terhadap melawan oligarki. Ah bahasamu masih tinggi, aku masih belum sampai untuk ke tahap sana.

 

Setiap selasa sehabis isya kau selalu datang ke kosanku untuk meminta rokok, menumpang membaca buku kirimu, atau mengocok daging kecilmu sembari merokok di kamar mandi.

 

“Kau harusnya punya perempuan yang satu visi denganmu,” kataku sembari mencari korek untukmu.

 

“Aku belum menemukannya, mungkin dia sedang membantu advokasi petani-petani kecil,” katanya dengan kaki yang diangkat ke atas meja belajar.

 

“Terserah. Kau berhak atas kehidupanmu.”

 

Jika kau sudah di kosanku, kau selalu begadang, aku tidak kuat menemanimu sampai pukul tiga pagi. Memang kami berdua sudah tidak kuliah lagi, alias tidak ada mata kuliah yang diambil. Kesempatanku kadang jika ada kau, akan kusuruh untuk beli rokok Djarum Super sebungkus, minuman bersoda, sisanya terserahmu (terkadang ia membeli alkohol sebagai teman membacanya).

 

Oh, adakah yang lebih otoriter dibanding rezim Soeharto? Aku rasa tidak pernah ada, bahkan orang tua dulu sudah tahu TVRI akan menyiarkan  keberhasilannya dalam swasembada pangan. Omong kosong itu hanya swasembada beras, hanya setahun itu juga. Tahun selanjutnya kita impor lagi. Dungu.

 

Kau baru kembali dari warung milik orang Madura yang selalu buka 24 jam, aku heran warung itu dimiliki sepasang suami-istri yang asli dari Madura ke sini hanya untuk membuka warung yang tidak pernah akan tutup. Pertanyaanku bagaimana membagi jadwal ketika hanya dua orang yang menjaga?

 

Sebatang rokok sudah menempel di mulutmu, kau memulai pembicaraan yang aku tidak mengerti lagi, membahas revolusi dan pemberontakan petani Banten 1888 karya Sartono Kartodirjo. Kau membaca buku itu hanya kurun waktu satu bulan, gila memang kau ini!

 

“Mengapa mereka memberontak? Sebab pamong praja kala itu menagih pajak kepada masyarakat sangat tinggi, sialan kita sudah dijajah oleh bangsa sendiri sejak lama,” katamu sambil terus menghisap rokokmu yang tinggal setengah.

 

Aku tidak menanggapi, aku terlalu ngantuk untuk membahas yang berat-berat. Sekarang sudah pukul dua belas malam, kau sudah mulai merebahkan diri di kasur. Tidak seperti biasanya kau masih terjaga sampai jam tiga.

 

“Bangunkan aku pagi sekali, aku akan berangkat ke Jakarta,” katanya.

 

“Untuk apa kau kesana?” kataku sambil menggelar kasur lantai

 

“Ada aksi solidaritas hari kamis, di depan kantor dewan rakyat.”

 

Aku hanya mengangguk tidak berkata. Kau sudah memulai kehidupan keduamu di mimpi, entah apa kau sedang menjadi aktivis untuk menggulingkan Louis XVI dan istrinya Antoine Marie? Entahlah aku hanya mengayal saja.

 

Belum sempat kubangunkan kau sudah bangun sendiri, bahkan sudah mandi. Terakhir aku melihatmu mandi pagi saat masih menjadi mahasiswa baru, setelah semester dua selanjutnya kau berangkat kuliah tidak pernah mandi. Anjuran mandi dua kali sehari kau rapel setelah maghrib.

 

Kau mulai berangkat dari Terminal Rajabasa, aku sempat mengantarkanmu sampai sana. Kau berpamitan dengan memelukku. Tidak seperti biasanya, mungkin perjalanan jauh pikirku. Kau semakin menjauh bersama bis Puspa Jaya yang pemberhentian terakhirnya Pelabuhan Bakauheni. Setelah itu kau harus menyambung menggunakan Arimbi atau kereta dari Merak.

 

Tiga minggu kau tidak pernah ke kosanku, biasanya kau menelpon untuk bertanya apakah aku ada di kosan atau tidak. Memang semenjak tragedi kosanmu dilempar tahi manusia, kau semakin waspada untuk ngekos. Katamu sih mereka yang melemparnya adalah orang berseragam, kau diincar sebab katanya provokatif untuk melakukan demonstrasi secara besar-besaran, memang kau koordinatornya saat itu.

 

Berat menjadi kau bahkan aku pun tak sanggup. Hidup dalam pengawasan, untung mereka tidak mengetahui kosanku. Jika tahu sudah jadi bulan-bulanan tempat singgahku oleh ulahmu. Ah maaf kau berjuang di jalan sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.

 

Teman-teman kelas Kaum Tertindas mulai mencarimu. Aku bingung sebab tidak tahu di mana kau sekarang, karena aku pun khawatir aku ke kampungmu yang berjarak tiga jam dari pusat ibu kota. Ternyata ibumu juga tidak tahu keberadaanmu. Aku dan temanmu panik. Kami ingin melaporkan polisi akan sia-sia, akhirnya mencari bantuan lembaga hukum untuk mengusut di mana kau sekarang.

 

Aku hanya tahu kau terakhir ada di Jakarta, teman-temanmu yang ada di Jakarta tidak tahu juga kau di mana. Ah sialan aku mulai panik setengah mati, merokok saja aku tidak enak karena kepikiran. Semua orang  di sini mencarimu, tapi tak ada yang tahu.

 

Kami tidak ingin segera menyimpulkan kau hilang atau mati. Itu kesimpulan paling terakhir, dan aku harap kau tetap hidup. Bahkan dosen pembimbingmu yang berahi kawinnya sangat tinggi itu pun menanyakan kau. Aku jawab tidak tahu.

 

“Kita mulai gelar aksi kamisan saja untuk dia,” kata salah satu teman kelas Kaum Tertindasmu.

 

Air mataku tidak sadar menetes perlahan. Perlahan. Siapa lagi yang akan kusuruh membeli rokok, mendengarkan ceritamu yang membuat kepalaku pecah. Aku benci mengatakannya tapi aku ingin kau tetap hidup.

 

“Kita tuntut negara untuk mengusut tuntas dia,” kata salah satu temanmu yang lain.

 

Dua bulan kau tidak terdengar kabar, bahkan koran nasional mengangkat dirimu dalam investigasinya, ada desas-desus kau diculik paksa atau dihilangkan. Aku heran di zaman sekarang masih ada saja yang begitu. Namamu selalu muncul dalam setiap pemberitaan. Bahkan koran pers kampus saja memberitakan kehilanganmu, dengan menggunakan aku sebagai narasumber. Sialan memang, kau selalu menyusahkan aku saja, bahkan untuk kau yang tidak tahu di mana aku harus angkat bicara.

 

Aku mulai percaya kau ditenggelamkan karena lantang. Namun, suaramu tetap terdengar bahkan di dasar lautan sekalipun. Jangan lupa kunci kosanku selalu kuletakkan di sepatu futsalku, ketika kau pulang aku menaruh rokok Djarum Super di dalam lemari belajarku. Ambilah. Saat kau pulang yang entah kapan.

 

Andre Prasetyo Nugroho

 

 

Kau sangat lantang dalam menyuarakan sesuatu yang dianggap ganjil. Bahkan teman-temanmu sampai memberi applause akan keberanianmu. Harusnya kau sudah menyusun karya ilmiah dan disetorkan kepada dosen pembimbingmu yang berkepala botak dan berperut buncit. Kau selalu percaya kebotakan itu akibat gelar doktornya karena saban hari membaca jurnal-jurnal sebagai referensi disertasinya. Dan buncit perutnya akibat meraba payudara atau bergulat di ranjang dengan mahasiswi yang bimbingannya. Kau yang menjadi aktivis kampus harus berjalan melewati terpaan, karena berbeda ia juga harus mengalami hal yang mengerikan dialami oleh seorang manusia, yakni hak hidupnya dihilangkan. Aku sebagai tokoh yang selalu melihat kau sebagai sahabat yang selalu mengisi harinya, menyuruh membeli rokok atau mendengarkannya bercerita yang patut atau kurang patut. Kau sudah berjuang sebaik-baiknya dan sehormatnya-hormatnya kalau kata Pram

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *